Sabtu, 14 September 2013

Langkah


Ketika waktu telah menghadirkan lagi bayang embun di pagi hari, lalu kita telah menjadi orang asing lagi satu sama lain, akankah kau menyesali sebuah pertemuan?

Kita tak pernah meminta sebuah sore yang memaksa kita duduk berhadapan, dengan hanya dipisahkan dua cangkir kopi yang nyaris tak kita sentuh. Kita tak pernah mengharapkan akan saling berbagi kesedihan tentang sekelumit cerita cinta yang tak kesampaian.

Kita tak pernah menyadari ketika kedua tangan kita saling menggenggam saling menguatkan. Kita bukan terbawa keadaan.

Pemahaman selalu saja datang terlambat. Sesuatu yang datang dengan cepat, biasanya akan pamit dalam waktu yang cepat pula. Mungkin saja hati kita belum saling beradaptasi. Mungkin saja hati kita bukanlah rumah untuk satu sama lain. Kamu bukanlah sebuah kesalahan. Bukan pula datang di saat yang tak tepat. Aku tak pernah percaya terhadap sebuah kebetulan, dan aku tak pernah mau menjadi orang yang mudah menyalahkan.


Kabut tipis membelai ujung telingaku, menyusup pelan dan menghadirkan dingin yang entah mengapa menusuk hingga ke dalam hati. Kamu adalah serupa kabut, tak pernah bisa aku genggam dalam nyata.

Pagi yang lain hadir dalam episode yang berusaha aku bangun kembali. Mimpi buruk tentangmu nyaris tak pernah datang lagi. Jika musim gugur bulan-bulan mendatang membawa kabut yang tak pernah meminta ijin di sudut hatiku, aku telah siap untuk membasuhnya dalam-dalam. Tak pernah ada kenangan tentangmu lagi.

"Tak pernah ada yang salah dengan kenangan, kita yang kadang memaksanya tetap ada dan diam. Jika ingin beranjak, simpan dan melangkahlah tanpa menoleh lebih dalam"

Sabtu, 07 September 2013

Journey

captured by him, Sawarna Banten 2012


captured by me, Sawarna 2012


Cinta, tak selalu harus pada pandang pertama
Mungkin udara menyimpan cerita kita rapat-rapat
Biasnya hanya terasa di hati saja

Ada hari-hari di mana kita harus berteka-teki dengan diri kita sendiri,
Menjajaki setiap pertanyaan yang enggan memberi jawaban

Sampai suatu ketika, semesta menemukan hati kita : saling bertegur sapa.


#Teruntuk dia, yang lahir dari seorang ibu hebat, pada tanggal 4 Juli : Happy Anniversary, Dear :)


Di Bawah Kaki Langit

Bukan tentang seberapa tinggi langit yang ingin kau jelajahi. Untuk menjadi tinggi, dibutuhkan kerendahan hati. Di bawah kaki langit, lompatan diperlukan untuk mencapai impian.

Setelah turun dari Rinjani, saya dan partner menyeimbangkan perjalanan dengan mengunjungi Gili Kondo, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gili yang saat kami ke sana (Juli 2012) masih belum didatangi banyak orang, entah sekarang :D Ini adalah Gili Kapal, kecil sekali. Kalau beruntung ia akan nampak. Sungguh indah.

Minggu, 01 September 2013

Dialog Pagi Hari

Antologi pertama saya : Kejutan Sebelum Ramadhan buku #10, bersama cerpen dari penulis lain, diterbitkan melalui kompetisi via nulisbuku.com, ramadhan 2013, baca cerpennya di bawah, pemesanan via nulisbuku.com, royalti buku akan disumbangkan :)





Dialog Pagi Hari
Cappucinored




Fajar pagi ini datang bersama jutaan tetes embun yang sinarnya terpantul di sela dedaunan. Aku berjalan pelan di antara ribuan ilalang yang tingginya tak sama. Menyembunyikan tubuh mungilku yang kegirangan bertemu bunga-bunga liar berwarna putih. Pagi masih terlalu dini, masih terlalu dingin.

Ya, itu hanya mimpi. Nyatanya, aku masih nyaman berlindung di balik selimut. Menghentikan suara merdu Katy Perry dan fireworks-nya. Aku tidur lagi.

Hei, ini hari minggu, teman! Tak apa aku tidur lagi, biarkan saja. Seminggu ini aku sudah diperbudak pekerjaan, jadi sah-sah saja aku menikmati hari mingguku ini.

Aku berjalan ke atas bukit. Dari sana, aku bisa melihat lebih jelas. Air sungai beriak riang perlahan, bersama desau angin yang semilir. Dari kejauhan aku melihat sosokmu mendekat. Kamu. Aku terdiam. Kenapa selalu begitu? Aku tak bisa berlaku biasa-biasa saja ketika ada kamu. Kamu tersenyum dari kejauhan. Aku tergugu. Kamu tiba-tiba sudah ada di depanku. Beberapa kata sepertinya akan kamu ucapkan.

Aarrrghh... Katy Pery nyanyi lagi siih.... Oke!

Katy Pery ini mengganggu sekali, sedang enak-enaknya mimpi indah. Selimut masih belum disibak. Aku masih setengah sadar. Ini masih terlalu pagi. Mentari juga masih malu-malu. Kulihat jam weker di samping tempat tidur, jam setengah enam kurang lima menit. Minggu terakhir aku bisa bangun siang, besok sudah bulan puasa, harus bangun sahur. Artinya, ngga ada dulu jadwal bangun siang. Oke sip.

Aku baru akan memejamkan mata kembali, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kosku. Ini pasti bukan Katy Pery! Siapa...??? Ini masih pagi sekali. Aku salah dengar barangkali? Tidur lagi saja. Tapi kok masih ada yang mengetuk yah? Baiklaaaah, aku menyerah.

Kusibak juga selimut merahku, sedang mataku masih setengah terpejam. Langkah kakiku kompak dengan mataku. Aku berharap pendengaranku salah, bukan pintu kamarku yang diketuk.

Jarakku sudah dekat sekali dengan pintu. Hening. Ketukannya sudah berhenti. Perlahan aku memutar kunci dan kubuka pintu kamarku.

Sesosok tubuh tak tinggi tak juga pendek berdiri membelakangiku. Aku seperti mengenalinya. Aku sapa tamu pagiku itu.

“ Selamat pagi “.

Tamu pagiku itu membalikkan badannya.

“Selamat pagi juga, Laras “.

Fajar  terlalu cepat menyapa pagi ini. Embun pagi pun belum tuntas meneteskan sejuknya di dedaunan. Tanah pun masih basah, sisa hujan semalam. Kamu, terlalu cepat datang.

Aku hanya tersenyum kaku. Entah bagaimana rupaku saat itu. Bayangkan saja rupa orang yang baru bangun tidur. Terlalu jelas kekagetan dan kegugupanku. Oke. Aku kalah. Kenapa pula kamu terlalu manis tersenyum?

“ Sarapan bubur ayam yuk, di ujung gang itu “.

Beberapa menit lalu aku masih bermimpi tentang sosoknya yang membuatku mati gaya, catat, dalam mimpi. Lalu, kenapa dalam nyata pun demikian?

“ Mau ngga? Cepat dong, aku lapar nih “ , katamu.

Terima kasih atas kunjungan paginya. Aku terkejut.

Aku berganti pakaian seadanya. Jeans lusuh dan kaos oblong, tak ketinggalan sendal jepit merah. Sementara kamu, sudah siap dengan pakaian orang yang mau pergi ke kafe. Iya. Begitulah. Kita akan makan bubur ayam.

Embun pagi sudah akan pergi. Sinar mentari diam-diam datang menelusup ke sudut kamarku. Kamarku kosong. Aku ada denganmu.

“ Mau nambah lagi? “ , tanyamu.

Aku hanya menggeleng. Aku tak cukup punya nafsu makan pagi itu. Kedatanganmu terlalu mendadak. Dalam diam, aku berpikir dan mencoba mengira-ngira. Apa maksud kedatanganmu?

“ Kamu kenapa, sakit, dari tadi diam terus “

Kamu, tak pernah bisa aku mengerti. Aku luluh dengan kebaikanmu. Kamu tak pernah tahu itu. Selama ini kita tak kemana-mana. Aku tak pernah bisa menerka hatimu. Bersamamu, aku selalu menjadi lebih pendiam. Salah seharusnya aku biasa saja.

“ Aku mau ke Jepang, hari pertama bulan Ramadhan, pagi sekali.. “.

Fajar pagi mengantar kabar yang kelabu. Jarak yang dekat tak pernah bisa membuka hatimu. Kamu terlalu bias. Mungkinkah dengan bertambah jarak semua akan lebih jelas? Entahlah.

“ Hanya enam bulan saja, aku dapat bea siswa “ .

Lama percakapan kita menggantung di udara. Pikiranku entah menggembara ke mana. Bubur ayam yang belum habis menjadi korban kegamanganku, kuaduk-aduk tanpa kusikapi. Jepang? Jauh sekali...

“Ras, kamu orang pertama yang kukabari loh.., maaf ya mendadak, aku ingin mengatakan sesuatu yang lain sebenarnya.. “

Kata-katamu memecah keheningan kita. Hei, Apa itu? Aku membaca sesuatu yang tak biasa pada matamu.

“Bersediakah kamu menungguku? .............“

Pagi ini mungkin terlalu cepat datang, tapi aku buru-buru merevisi kekesalanku pada sang fajar. Ada rasa yang tertinggal di hari ini. Ada rasa yang kau titipkan pada hatiku. Iya. Aku mau menunggumu.



“Will you marry me....”

Photo : Cappucinored