Rabu, 29 Januari 2014

Ratri



Aku gadis konvensional. Berambut panjang dan tak suka pulang malam. Kuno mungkin bahasanya. Aku tak suka hal-hal di luar kebiasaan, aku taat peraturan dan hal manis lainnya.

Manis. Kata orang-orang, wajahku cukup manis. Tak heran, di usiaku yang beranjak dua puluh ini ada beberapa lelaki yang sepertinya mencoba mendekatiku. Beberapa di antaranya jelas-jelas sering datang ke rumah, padahal jujur Aku tidak terlalu suka. Aku sudah punya kriteria sendiri.

" Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu padamu", ujarku.

"Aku hanya ingin kita berjalan-jalan sebentar, lihat, pasar malam  begitu ramai malam ini....." Ia tak menyerah rupanya.

Aku hanya memberinya senyum. Itu sudah lebih dari cukup untuk lelaki yang namanya pun aku  lupa.

Angin malam meninggalkan bunyi-bunyian di sela-sela derit jendela yang usianya sama denganku. Aku mematut diri dan tersenyum pada gadis manis konvensional  di hadapanku.

Aku rindu padanya. Pada seraut wajah yang fotonya kusimpan rapi di bawah lemari. Lelaki dewasa yang usianya memasuki setengah abad. Bapak kepala desa.

P.S :
Flash Fiction 161 kata sesuai tanggal kelahiran BFG  16 Januari
#FF161Kata #CeritaKruBFG








Selasa, 28 Januari 2014

Kata Untuk Kesalahan



Jika kau rasa kehilangan adalah ketika udara mengambil seluruh pengharapanmu, kau salah.

Jika kau bilang kehilangan adalah ketika kau tak berhak lagi atas kenangan-kenangan tentangnya, kau salah.

Sudah cukup, hujan.
tetap saja berderai di kaca jendelaku.

Kehilangan ini nyata.
Aku rasakan.


: Kata untuk kesalahan.

Selasa, 07 Januari 2014

Memoar


karena waktu selalu menyembuhkan dan memberi ruang pada hati kita


Aku adalah luruh yang kepingannya kau jadikan utuh kembali. Saat gerimis menyisakan tempias di beranda rumah, lalu kesepian menyergap tanpa ampun, harapan adalah satu-satunya kunang-kunang yang masih berpendar. Itu kamu.

" Cinta tak pernah memaksa tinggal di hati seseorang, ia diam di tempat yang semestinya"

Mengenalmu adalah biasa saja, dahulu. Layaknya pertemanan biasa, konvensional dan apa adanya.

" Mungkin suatu hari nanti, semesta akan memberi kita kesempatan minum kopi atau teh sambil berbincang santai", dialog sambil lalu kita beberapa tahun silam.



Percaya takdir? Aku terdiam. Pertanyaan klise dan sangat manusiawi. Pun manusiawi ketika aku merasa sedang dipermainkan takdir. Apa yang kau rasakan jika tiba-tiba orang yang kau sayangi tak lagi memberimu kabar, lalu pergi diam-diam, tanpa alasan? Hambar. Saat-saat terasing dari dunia adalah saat kau tidak pernah tahu apa kesalahanmu, tapi seseorang pergi meninggalkanmu.

"Kamu baik, sedang aku merasa sangat banyak kekurangan, tak sepadan denganmu...."

Bukankah cinta akan membawa kita menjadi orang yang lebih baik, dan berusaha menyempurnakan satu sama lain? Lalu? Mengapa harus pergi diam-diam dan menyisakan alasan disaat waktu sudah memberiku jawaban atas penafsiran-penafsiranku sendiri? Kamu terlambat menjelaskan. Aku tetap gadis hujan yang dulu. Tapi kamu menjadi lelaki yang tak lagi sama di mataku.


" Jika kita menginginkan bahagia, maka kita harus berusaha, menyiapkan hati kita : untuk bahagia. Jangan kau habiskan waktumu, untuk orang yang tak mengerti arti ketulusan".


Lalu tibalah hari di mana kita berkenalan. Kamu, bukan dia. Sangat berbeda.

Hari-hariku tetap sama, meninggalkan kenangan di belakang yang biar saja menjadi bagian yang tinggal di sudut hati. Tak akan pergi, tapi tak akan pernah kuajak masuk kembali.

Hatimu, adalah bahasa lain yang mengajariku sesuatu. Sedikit demi sedikit, mataku mampu melihat duniamu.
Ada perjalanan yang kita buka di sore hari itu. Aku mulai berdamai dengan 'takdir'.

"Tak setiap orang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama"

Aku tak pernah mampu menjelaskan dengan kata-kata, sejak kapan aku jatuh cinta padamu. Entah pagi, atau saat senja memudar, entah kapan. Jatuh cinta terkadang tak memerlukan alasan, tapi aku yakin, ada alasannya, aku saja yang belum mampu mendefinisikannya.

"Hidup selalu memberi kita kejutan"





Perjalanan membawaku pulang ke hatimu, juga kamu. Kita bukan manusia sempurna itu, kita hanya berusaha saling menjadi 'baik' untuk satu sama lain. Aku mau menjadi perempuan yang bertemu pagi dan senja setiap hari, bersamamu. Aku mau menjadi perempuan yang kau genggam tangannya di keramaian. Aku mau menjadi perempuan yang tetap kau banggakan sesederhana apa pun diriku. Aku mau.

Aku mau, saat kau bertanya, "maukah kau menikah denganku....?"



Jatuh cinta, rindu, bahagia, tak pernah mengenal pergantian musim. Pertemuan, perpisahan, adalah hal yang sangat mungkin kita alami. Setiap orang selalu mengatakan berani jatuh cinta, tapi apakah mereka seberani itu saat berhadapan dengan 'kehilangan?' 


Aku, adalah luruh, yang menjadi benderang saat di dekatmu. Rusuk itu tak pernah tertukar, akan saling menemukan, sejauh apapun jarak, sehebat apapun keadaan memisahkan, hati kita pulang ke rumah yang sama.

: Selamat tanggal 8, genap 30 hari, selamat menjelang hari, bahagiaku :)



Senin, 06 Januari 2014

Elegi

karena mencintai itu adalah bahasa tentang kejujuran

Tak ada senja di sini. Kau membohongiku. Yang kudapati hanya jalanan yang basah sisa hujan yang cukup deras, lalu mobil-mobil yang melaju cepat meninggalkan cipratan di ujung sepatuku. Tak ada jingga yang kau janjikan.

Rupanya kamu masih pelupa. Kamu tidak ingat kita seharusnya bertemu sore ini untuk sama-sama menikmati rindu. Lalu berjalan pelan menunggu malam, di sini, di jalanan ini.

Aku menunggumu sedari tadi. Kamu bilang, "tunggu aku di tempat biasa, sambil menikmati senja, yang kamu suka".

Kamu tak datang rupanya. Dingin menusuk-nusuk ujung hidungku. Kurapatkan jaket dan berjalan perlahan. Sudah cukup. Pembohong.

" Jujur lebih baik, walau terkadang itu menyakitkan, namun itulah catatan sang pemberani".

Aku tak ingin mengenalmu lagi, Dit.




" Aku tak sebaik yang kamu kira, Rana.. Aku hanya pecundang yang tak ujung sembuh. Sejak tadi aku menunggumu, aku ingin mengucapkan rindu yang selalu aku sebut-sebut itu. Aku datang, tapi aku hanya pecundang ".

Kubiarkan kamu pergi bersama rindumu, kenanganmu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Itu saja, Rana.