Sabtu, 31 Januari 2015

Kepada Laki-Laki Berkemeja Abu-Abu #2 : Sakit




Hai, kamu.

Aku sakit.

Tepat sehari setelah kamu mengunjungiku weekend lalu. Badanku panas sekali, demam tinggi. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku sakit. Kalau tidak salah, tahun lalu, sebelum kamu Prajab itu ya. Itu pun hanya demam semalam saja, besoknya sudah sembuh.

Ini demamnya tinggi sekali, aku sampai kepanasan. Sepertinya ini gara-gara kita kehujanan sebentar hari Minggunya. Cuaca di Bandung memang sedang tidak bisa diprediksi dan seringkali jika hujan datang, dibarengi dengan angin yang kencang sekali.

Saat ada kamu, aku belum sakit. Malah aku sempat kan mengantarmu sebentar saat gerimis sore. Malamnya pun aku masih sehat. Demamnya datang kurang lebih jam sebelas malam, tepat saat aku akan pergi tidur. Kepalaku tiba-tiba pusing, sakit sekali. Lalu badanku panas, semakin lama semakin parah. Alhasil, malam itu aku tidak bisa tidur, sayang.

Aku memberitahumu dan tentu saja kamu cemas.

Pagi hari demamnya belum juga mau pergi. Mulutku rasanya pahit sekali. Saat itu ingin rasanya aku memelukmu. Sepertinya dengan begitu, demamnya akan jauh lebih berkurang. Hingga sore pun malam, aku masih sakit. Aku bergeming, tidak dulu berniat untuk meminum obat. Pun pergi ke dokter. Kamu mengecek keadaanku selayak dokter pribadi. Aku makin sedih dan rasanya ingin menangis.

Saat sakit dan tidak ada kamu, itu hal yang menyedihkan.

Akhirnya, setelah bertanya kepada dua dokter kenalanku, aku berani meminum paracetamol. Kamu pun sudah menyarankan dan mendesakku untuk pergi ke dokter. Aku yang enggan. Aku cemas.  Iya, aku dan kamu cemas, bolehkah aku yang tengah mengandung mengkonsumsi obat?

Buatku, kehadiranmu lebih penting dibanding obat, tapi bagaimana? Kamu harus ada di kota itu untuk bekerja dan aku harus menurutimu untuk tetap tinggal di Bandung.

Rupanya, satu obat saja cukup, sayang. Malamnya, aku banjir keringat. Demamku berangsur turun. Lega sekali. Walau saat dua hari ke depan, aku masih lemas dan mulutku masih pahit, tapi demamnya sudah hilang. Lega, berarti saat weekend kamu ke sini, aku sudah sembuh dan bisa tersenyum tanpa wajah yang pucat.

Doakan aku selalu sehat ya, hei...

Terima kasih untuk doa-doanya. Apa pun yang kamu lakukan selalu berarti banyak.

Salam hangat,

Istrimu.

Jumat, 30 Januari 2015

Kepada Lelaki Berkemeja Abu-Abu #1




Hai,

Sebenarnya, dulu, aku lebih suka melihatmu saat memakai kaos biasa, berkupluk, bersepatu gunung. Iya, jika kita sedang traveling, aku suka melihatmu.

Saat kini kita sudah jadi 'travelmate' yang sesungguhnya, entah mengapa, aku juga suka saat melihatmu mengenakan pakaian kantormu. Kemeja rapih dan celana bahan. Kamu ganteng.


Aku merapihkan dan mengancingkan kemejamu dengan perlahan. Kamu tersenyum seraya berkata, "Biar olehku saja.."

Aku membalas senyummu dan menepis tanganmu.

Aktivitas pagi kita, dulu,  beberapa bulan yang lalu.

Saat dingin mengetuk pintu kamar kita, saat kamulah wajah pertama yang aku lihat selepas lelap. Aku menikmati moment membangunkanmu dari tidur, atau yang lebih aku suka adalah memandangimu saat kamu terlelap. Damai. Kamu yang sangat mudah tertidur jika sudah bertemu bantal, sedangkan aku, sangat sulit untuk dapat lekas tidur.

Pagi dan segala kesibukan kita. Ah, aku sungguh merindukan itu semua. Kini, kita kembali terpisah jarak. Aku sungguh rindu membantumu merapikan kemeja, menatapmu yang tengah bersiap pergi ke kantor, menyiapkan bekalmu, dan mencium tanganmu sebelum punggungmu menghilang bersama hiruk pikuk pagi.

Aku rindu melihatmu memakai kemeja kantormu, terutama kemeja abu-abu itu.

Kemeja itu kini tergantung di lemari pakaianku, sedang kamu ada di tempat lain. Bersabar ya. Jarak akan berbaik hati kepada kita beberapa bulan lagi.


Tetap ganteng ya, kamu, lelaki yang berkemeja abu-abu.

Salam,

Istrimu.