Minggu, 05 Mei 2013

Lewat Petang, di Secang

Hujan, dari balik kaca jendela bus, di pertigaan Dieng



Hujan selepas Dieng
Hujan kali ini terasa berbeda. Ada rasa enggan meninggalkan tempat ini. Jalanan basah, seperti kaca jendela yang tengah kutatap. Bening. Berkabut di luar sana. Beberapa orang masih nampak menyelamatkan diri dari hujan yang menderas. Kusapu lembut tetesan air hujan yang menempel di kaca jendela, lalu kulukis namaku dari tetesannya, juga lukisan-lukisan lain yang entah apa. Tanganku basah. Seperti hatiku.

Rasa dingin masih tersisa. Nyata. Sapaan bisu di pelupuk mataku, tentang kearifan lokal tak mungkin terlupakan. Dieng, dan banyak kisah di dalamnya. Selalu ada cerita dalam setiap perjalanan. Selalu ada yang tersisa pada setiap perjalanan. Kenangan. Abadi dan selamanya.

Senja makin menua saat bus yang kutumpangi melaju perlahan dari pertigaan jalanan utama kawasan Dieng. Teman perjalananku duduk diam, entah memikirkan apa. Apa mungkin dia sama denganku, masih ingin berlama-lama di sini?

Aku masih saja memandangi pemandangan di luar jendela, ketika tanpa disadari, rasa kantuk yang sangat begitu saja menyerang. Mungkin ini efek dari semalaman yang tiada bertemu nyenyak ketika tidur. Kabarnya, semalam cuaca hampir mencapai kisaran nol derajat. Kabarnya.

Tadi malam itu waktu seperti berputar-putar dihitungan jam yang sama. Lama sekali. Dingin sekali. Jarum jam seolah tak beranjak dari tempatnya, mematung.

Aku terbangun oleh guncangan bus yang seolah-olah mengayun tubuhku. Sedikit lama untuk mengumpulkan nyawa. Masih belum tahu bus ini tengah berada di mana. Setahuku, kami harus turun di terminal bus Wonosobo, di mana kami akan berganti bus menuju Yogya.

Kernet bus memberikan semacam notifikasi bahwa kami harus turun di sini.
 “ Habis, di sini saja”, katanya singkat.

Bingung.

Jadi, kami seolah-olah diperintahkan untuk :  “sudah ya, sampai di sini saja, bye!”
Baiklah, enggan untuk berargumen, kami pun turun. Aku. Masih dengan rasa kantuk yang tersisa.

Kami berjalan kaki menembus keramaian perempatan yang terbentang di depan mata. Aku masih saja berceloteh di dalam hati. Lebih tepatnya, sedikit khawatir tentang keberadaan kami sekarang ini. Teman perjalananku tenang-tenang saja air mukanya. Baiklah. Lelaki selalu memenangkan logika rupanya. Aku, terlarut perasaan khawatir berlebihan.

Kami lalu menepi di tepi jalan yang ramai oleh orang yang tengah berteduh dari hujan. Hujan menjadi akrab sekali dengan kami selama perjalanan kali ini. Seorang bapak memberiku tempat duduk, sungguh baik hati. Udara di sekitarku masih sama. Dingin.

Setelah bertanya dan menimbang segala kemungkinan, akhirnya kami memutuskan untuk naik bus yang tujuan akhirnya menuju Magelang  , karena ternyata tak bus yang langsung menuju Yogya dari tempat kita diturunkan tadi.  Ya, tak apa, santai, masih di Jawa ini, kalau kemalaman, lihat nanti. Padahal, sedikit ketar ketir sih sebenarnya:D


Pertemuan tanpa sengaja
Tak lama kami sudah berpindah tempat ke dalam bus yang penuh sesak, bus ekonomi, yang menurut kabar itu adalah bus terakhir. Pantas sesak,  tapi bersyukur kami masih dapat tempat duduk.

Sangat khas Indonesia. Segera saja berbagai aroma hinggap di ujung hidungku. Kepulan asap rokok berbagai merk menyerbu pernafasanku. Teman perjalananku yang baik hati segera meminjamkan syalnya. Ia tahu, aku tak suka asap rokok.


Bus belum beranjak juga setelah kurang lebih dua puluh menit. Panas segera saja menyergap. Maaf saja, urusan ngetem ini menjadi salah satu masalah yang selalu berhasil membuatku hilang mood. Jujur, sangatlah rugi waktu dua puluh menit. Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi benar.  Lalu kemudian pada saat acara ngetem ini menjadi tiga puluh menit pun, bus masih saja diam di tempat. Baik. Sabar lebih baik, atau mungkin lebih tepatnya pasrah.

Saat lampu-lampu jalanan berpendar  indah di tengah temaram, bis melaju perlahan. Seulas senyum, akhirnya. Desir angin meniup perlahan, nyaris tak terdengar, tenggelam dalam alunan suara pengamen yang lebih dominan.

“ Kita kemalaman ngga ? “ , tanyaku was-was.

Teman perjalananku tersenyum. Semoga tidak, katanya.

Hujan masih setia menemani perjalanan menuju Magelang yang terasa lambat ini. Rasa kantuk tak juga membuatku ingin memejamkan mata, entah kenapa. Padahal aku nyaman duduk di sebelah teman perjalananku, aku aman. Iya, aman, di dalam bus ekonomi yang penuh sesak ini :D

Kupandangi gelap di luar sana, basah. Setia berteman dengan dingin. Teman perjalananku sepertinya tengah berbincang dengan penumpang di sebelahnya, seorang ibu. Aku melihat sekilas, lalu tersenyum padanya. Namun obrolan mereka tak terlalu jelas, bus ini cukup bising. Aku hanya sempat berkenalan saja.

“Sebentar lagi kita turun” , ujarnya.

Aku terhenyak. Bukannya kita menuju Magelang ya? Bukannya masih lama? Heran.

“ Eh, kenapa turun sekarang? “, tanyaku polos.

Ternyata, ibu baik hati yang tengah berbincang dengannya tadi menuturkan, bahwa kami harus turun di Secang, tepatnya di Terminal Secang, karena kalau sampai di Terminal Magelang pun sudah terlalu malam, dan dipastikan tidak ada bus menuju Yogya. Kulirik jam di telepon genggamku, kurang lebih pukul 20.00.
Kalau pun di Terminal Secang tak ada bus, kami bisa menyetop bus tujuan Yogya di pinggir jalan, kecil kemungkinannya, tapi alternatif ini sangat dianjurkan untuk dicoba.

Di perempatan Secang, kami turun. Kami bertiga, aku, dia dan Bu Ratna, kenalan baru kami di bus barusan. Ternyata beliau pun turun di tempat yang sama, rumahnya masih cukup jauh dari Secang, di daerah Kali Bening, harus diteruskan menggunakan ojeg.

Kami menyebrang sambil sedikit berlarian, menerobos hujan yang tak lagi gerimis. Lalu lintas di Secang tak terlalu ramai.

“ Sebentar ya, ibu mau beli roti bakar dulu, untuk anak ibu di rumah ”, ujar Bu Ratna, menghentikan langkah kami sejenak.

Sejenak lalu aku merasa lapar, namun rasa lapar itu sudah menguap, tapi tidak nampaknya bagi dia. Teman perjalananku memesan roti bakar juga. Sambil sesekali berbincang dengan Bu Ratna, aku memandangi tempat ini. Hujan, lampu dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang. Aku merekamnya.

Secang, sehabis petang



Aku dan Bu Ratna menyeberang duluan. Tanganku digenggamnya erat-erat. Terasa hangat. Ah, jadi teringat ibu di rumah. Aku tersenyum dalam hujan.

“ Jadinya bagaimana? naik apa? sudah malam ini...”, pertanyaan beruntun bernada khawatir dari Bu Ratna.

Lalu aku menjelaskan rencana kami, segala kemungkinannya pula. Tanganku masih digenggamnya, hangat sekali. Walau baru aku kenal sepintas lalu, namun dari mata, bicara dan genggaman tangannya, beliau terlihat sangat nyata mengkhawatirkan kami. Teringat anaknya, katanya. Aku diam. Haru.

“ Sudah, jika kemalaman, menginap saja ya di rumah ibu, ini nomer handphone ibu, atau sekarang saja langsung ke rumah ibu....”, ajaknya. Aku pun melempar senyum.

Semua masih jelas terekam. Raut wajahnya yang khawatir, genggamannya yang hangat sampai di hatiku, serta ketulusannya. Mengingatkanku padamu, ibu.


Bu Ratna berpamitan pada kami yang sangat berterima kasih atas tawaran menginap di rumahnya. Nomor ponselnya sudah aku simpan.


“Kalau tidak dapat bis, hubungi ibu, minta antar sama tukang ojeg sampai di rumah ibu, pasti sampai, sudah malam ini...” 


Roti bakar, hujan yang masih menderas dan pelataran toko retail. Kami duduk sambil memandangi lalu lalang kendaraan yang masih ramai. Iya, kami memutuskan untuk mencoba dulu, berharap masih bertemu bus jurusan Yogya yang melintas dan mau mengangkut kami berdua.

Waktu berjalan cepat, hampir tiga puluh menit. Kami berdua mungkin sedikit apa ya namanya, entah, sulit terlukiskan. Sepertinya, tawaran Bu Ratna tadi cukup logis, di tempat ini, dengan informasi yang nol, tanpa teman dan kerabat, kami mau menginap di mana?

Berjalan dalam hujan dan sedikit menertawakan diri sendiri. Secang dan Magelang ini tidak ada dalam rute perjalanan kami, mengapa jadi begini?  Kami melintasi Terminal Secang yang diam dalam malam, tak menyisakan apapun dalam ruangnya.  Kembali ke pangkalan ojeg, menghubungi Bu Ratna, dan dalam hitungan menit, kami sudah duduk manis di atas motor menembus malam kota Secang menuju Kali Bening, kediaman Bu Ratna. Semua terjadi begitu cepat, begitu saja, tanpa terduga.

Hujan sudah reda saat kami tiba di kali Bening. Teh hangat menyambut kami yang kedinginan malam itu, juga keramahan Bu Ratna. Bahagia itu adalah ketika mendapat sesuatu yang tak pernah terbayangkan, yaitu keluarga baru, di tengah perjalanan. Semakin teringat ibu di rumah. Bu Ratna mengajakku untuk tidur di kamarnya. Berbincang sejenak sebelum tidur, ya, seperti di rumah saja :)



Hadiah pagi yang sempurna
Gugusan pegunungan Slamet nampak gagah terlihat dari tempatku berpijak, bersama awan putih yang berdiam anggun mengelilinginya. Sisa-sisa hujan semalam masih enggan pergi. Membius tanah dengan harumnya yang khas. Tetesan embun membias indah di sela dedaunan, kabut tipis samar  berbisik pelan tentang keindahan yang sederhana. Pagi di sini sungguh mengagumkan.

Kami melangkah perlahan sepanjang Kali Bening. Udara seolah tersenyum lebar pagi itu. Semesta indah di pelupuk mata.

Dari arah yang berlawanan, kami melihat sekawanan bebek berjalan cepat teratur, sungguh lucu. Gemericik air yang bening dan hijau dedaunan menyegarkan pandang. Hadiah pagi yang sempurna.

Sungguh benar, keindahan memang tak pernah cukup tergambar dengan kata-kata. Biar mata merekam lebih dalam dan hati yang abadi menyimpannya.

Kesempurnaan pagi di Kali Bening tergenapkan dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil yang tengah mandi di sungai. Iya, mereka mandi. Tersenyum malu-malu ketika kusapa. Muka mereka berseri-seri diterpa mentari pagi. Nampak bahagia.

“Jadi teringat masa kecil”, gumam teman perjalananku.

Kaki kami berhenti di sebuah warung kecil di tepi sungai. Gorengan yang masih hangat, teh manis yang hangat pula, obrolan pagi, dan keindahan alam. Tempat yang tak pernah sedikitpun terpikirkan sebelumnya akan kami singgahi. Kejutan dalam sebuah perjalanan :)



Puzzle perjalanan
Perjalanan selalu mengajarkan banyak hal. Tentang keberanian, penerimaan pun ketulusan. Berani melangkah lebih jauh dari biasanya, menerima setiap hal yang kita temui dan membuka hati lebar-lebar agar lebih peka merasakan sisi humanis manusia, bernama ketulusan.

Pada perjalanan, akan kita temui banyak rupa manusia, dengan segala sisi kehidupannya. Perjalanan itu seperti sebuah foto, serupa gambar yang menceritakan banyak hal, tanpa berbicara. Hanya hati, yang bisa merasakan makna perjalanan. Perjalanan hati. Menyimpan rapi sebentuk kenangan.

Dan perjalanan kali ini memberiku sebuah pertemuan dengan  seorang ibu yang begitu penyayang, yang tulus membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk kami, dua orang asing yang tak sengaja ditemuinya di dalam bus kota. Kami, yang tak pernah dikenal oleh Bu Ratna sebelumnya. Kami, yang keesokan harinya hingga hari-hari berikutnya masih selalu ditanyakan kabar olehnya. Ibu, yang sudah kuanggap ibuku sendiri. Kebaikannya bukan buatan.

Memaknai perjalanan adalah belajar memandang sesuatu secara sederhana. Melepaskan segala harap berlebihan, agar tak ada ego dan kesombongan. Orang-orang yang kita temui, teman-teman perjalanan dengan segala keunikannya, benda-benda mati di sekeliling, waktu yang tak tepat rencana, alam dan semesta. Itu.

Perjalanan. Bukan pada indahnya saja tentang apa yang akan kita lihat, bukan pada seberapa banyak kesenangan kita hisap, bukan pada beratus-ratus foto yang bisa kita abadikan. Ini bukan hanya tentang itu.

Ini tentang seberapa sederhana menghabiskan pagi, tanpa hiruk pikuk. Ini tentang seberapa sederhana diri menyapa manusia baru. Ini tentang seberapa sederhana kita, memotret manusia. Aktivitas, kehidupan dan denyut yang mungkin bukan pemandangan yang biasa kita lihat sehari-hari. Memotret kehidupan yang jika pada kehidupan biasanya, lupa kita hayati. Ini tentang sederhana. Ini tentang kita dan dunia.

Episode petang di Secang, tak lekang hingga kini. Ada niat yang masih kusimpan rapat-rapat. Akan ku sapa kembali pagi hari di sana, akan ku genggam lagi tangan Bu Ratna erat-erat, dan akan kusempurnakan perjalananku menuju ke sana, Kali Bening, Magelang.


Terima kasih, Bu Ratna, untuk ketulusan yang tak terperi. Terima kasih perjalanan, yang selalu memberi banyak lembar kenangan. Terima kasih, kamu, teman perjalanan, untuk selalu ada di setiap jejak waktuku.




3 komentar:

  1. kyaaaaaaa... tulisannya indah mbak..
    tersusun rapi, tersampaikan, romantis pula..
    mbak windri,, semoga segera jadi bukunya..
    ditunggu. ^^
    terus berkarya mbak... :)

    BalasHapus
  2. alhamdulillah ada yg suka :)

    ini kisah nyata mbak, beneran, dan tulisan ini sebenarnya diikutkan pada sebuah audisi, hanya tidak lolos, ya sudah tulis saja dblog, nabung tulisan, aamiin, maaf y lama, tak mudah ternyata, tp i.A ini sdg diusahakan, mksh doanya ^__^V

    BalasHapus
    Balasan
    1. oohh,, suka. iya keliatah kok mbak wind kalo ini cerita beneran. hehe :D

      Hapus