Sabtu, 27 Juli 2013

Epilog Untuk Juli


Jalanan basah karena hujan sedang ingin berdialog dengan senja yang enggan jingga. Aku dan kotamu. Hujan dan perjalanan kita, tak terasa sudah sejauh ini. Tetaplah menjadi teman perjalananku hingga nanti.

Hujan mungkin menghapus beberapa kenangan. Tapi baginya, hujan adalah penanda kenangan yang belum usai. Aku di perjalananmu, tak pernah beranjak  kemana-mana. Tinggal.

Jika nanti di perjalanan kita aku mengesalkanmu, jangan kemana-mana, tetaplah di sampingku.

Kamu memilih hatiku sebagai rumahmu, demikian juga aku. Kita akan selalu saling memperjuangkan.


`di penghujung Juli, pada pagi bulan Ramadhan :)

Senin, 15 Juli 2013

Pertemuan




Aku menantimu di halte tak jauh dari taman tempat kita sering berlama-lama menghabiskan waktu pulang sekolah, dulu. Sesuai pesan singkatmu, aku harus tiba tepat waktu, pukul delapan pagi. Sementara pagi pukul delapan terus berlari bersama menit-menitnya, lalu para pejalan kaki nampak sibuk mengejar aktivitasnya masing-masing, tiada tanda-tanda kamu akan tiba.

" Pagi, Nona, , sudah tiba ya? Kamu nampak manis hari ini, aku di warung dekat halte ya, see you... " (Panji)

Ini kamu ada apa ya, tiba-tiba hobi main detektif-detektif begini. Tak biasanya. Aku dan dia berjarak, jarang sekali bertemu. Pertemuan bagi kami adalah hal yang mahal harganya. Lalu, setelah giliranku datang mengunjungi kotanya, ada surprise yang tak kusangka. Biasanya, dia datang menjemputku, tapi tidak kemarin, aku dijemput taksi, lalu menginap di tempat biasa memang, tapi ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Baik, aku merasa tertantang dan penasaran, apa sih mau dia kali ini.

Warung dekat halte yang dikatakan olehnya belumlah ramai pagi itu. Hanya ada dua orang bapak paruh baya yang tengah menikmati kopi hitamnya. Kamu dimana? Sungguh kesal rasanya. Aku memutuskan untuk diam dan baru akan memesan segelas teh, ketika ibu warung menyapaku ramah.

" Mbak Lily? ini tehnya, tadi mas yang baru saja pergi titip pesan, katanya teh ini untuk mbaknya, dan ini ada kertas titipan dari mas itu mbak..."

Aku hanya tersenyum dan menggangguk. Kamu, memang selalu ada-ada saja. Tapi kali ini, sungguh. Mungkin raut mukaku ini sudah mirip kepiting rebus, merah padam, tapi bukan karena malu, karena kesal. Iya.

Aroma teh dan kehangatannya meredakan kesalku. Secarik kertas yang sedikit lusuh kubuka perlahan.

" Selamat menikmati secangkir teh hangat, jangan cemberut, kamu nampak jelek :D Ada aku menunggumu, di ujung taman, can't wait to see you, Ly.. "  (Panji)

Tiba-tiba senyum tersungging di sudut bibirku. Kamu memang selalu penuh kejutan. Berharap, permainan ini akan segera menemukan akhir, kuhabiskan segera teh di hadapanku. Kamu di mana? Mengesalkan, kamu tak tahu rindu itu sudah ingin segera dikatakan?

Setengah berlari ku hirup berjuta udara ke dalam rongga alveolusku. Tali sepatu ketsku sepertinya copot, tapi aku sudah tak peduli. Aku bisa merasakan, kamu sudah dekat.

Taman yang sederhana, hanya ada bangku-bangku kayu yang dicat ulang. Matahari pukul setengah sembilan pagi masuk dengan leluasa di sela-sela rindang pepohonan. Sampai juga sinar hangatnya pada tanah yang ditingkahi daun-daun yang berguguran. Aku mencari sosokmu.

Pada salah satu bangku taman tersandar sepeda kumbang yang sangat klasik. Sepertinya aku pernah melihat sepeda ini, tapi di mana, aku sedikit lupa. Tak ada siapa-siapa, hanya ada suara desir angin membelai lembut ujung kerudungku. Kamu di mana sih? Kuperhatikan dengan seksama si sepeda kumbang, sambil mengingat-ingat.

" Lupa ya, itu sepeda abah.. "

Aku sontak membalikkan badan, dan dengan setengah berteriak kumaki orang yang baru saja muncul di depanku.

"Maaf ya, tapi suka kan dengan kejutannya? Sekali-kali tidak dijemput, tak diantar, tak diistimewakan, tak apa kan? Ternyata, kamu tetap sama, istimewa, buktinya mau datang, dan sabar mengikuti permainan isengku, hehe .. " 

Kubalas ucapannya dengan mataku yang membelalak kesal. Aku tahu dia paling takut dengan ini.






Cara kita merayakan pertemuan di sela jarak, mungkin beragam. Aku tak pernah ingat sudah berapa banyak kebaikanmu terasakan olehku, yang pasti aku selalu merasa paling istimewa di antara bermilyar penghuni dunia. Aku selalu dapat merasakan sorot matamu hanya tertuju padaku. Kamu romantis, dengan caramu sendiri, dan aku suka.

Kamu tak pernah menawarkan banyak kebahagiaan untukku, tapi kamu memberikan banyak udara bernama bahagia pada setiap detik hidupku. Bersamamu, bahagia menjadi ada dan nyata. Tak berupa bayang-bayang yang tak mampu kulihat dan kurasakan.

" Jadi, kita mau ke mana ini? cuma gini doang? Ngga seru banget..", ujarku.

" Nantangin, suka belagu sih, sini naik aku boncengin, kita ke rumah ketemu abah, beliau kangen calon menantu katanya... "

Terkadang, kata-kata memang bukan perantara yang tepat untuk mengungkapkan bahagia. Lengkung pelangi yang terlukis di wajah kita pun tak pernah cukup mampu menunjukkannya.

Derai tawa kita beterbangan ke udara lalu semesta menangkapnya, gerimis pagi hari di kotamu. Hati kita sesungguhnya tak pernah berjauhan. Ada bahagia yang saling merekatkan. Iya, kita bahagia.

Selasa, 09 Juli 2013

R I N J A N I (Bag.1)




Desa Sembalun sore  itu basah disapa hujan. Langkah-langkah kecilku berawal dari sini. Rinjani tak nampak sama sekali, tertutup awan tebal. Hai, mari kita berkenalan, kamu seberapa tinggi-kah? Sebenarnya dalam hati ada banyak keraguan untuk menyapamu, tapi kakiku sudah sampai di sini, menggangguk pada mimpi yang tiba-tiba mengajakku pergi, mendekatimu, Rinjani.


Sembalun


Yang menjajari langkahku tak banyak bicara. Aku hanya diam berdialog dengan hatiku sendiri. Sejujurnya aku gugup, perjalanan kali ini begitu berbeda. Rinjani sungguh menggetarkan hati.

Terdapatlah seorang ayah yang menyegajakan diri menyapamu. Oleh sebab nazarnya terhadap pertambahan usia putri cantiknya, yang bernama Rinjani. Jauh langkahnya dari Makasar, sungguh kuat hatinya. Tak kalah mencengangkan, seorang ibu yang tengah mengandung lima bulan, turut serta dalam perjalanan ini. Hebat. Kagum. Salut.

Malam akan menjelang, dan mulailah terasa carrier di pundakku meninggalkan rasa sakit. Hei, ini masih jauh dari puncak, Nona. Sungguh lelah, jujur saja. Berjalan terus itu bukan pilihan, tapi keharusan. Sedikit lagi, selalu itu yang ia ucapkan. Sejujurnya, seberapa lama "sedikit lagi" itu, hei? Hati kecilku protes, namun lagi-lagi kaki ini lebih mengambil peran, memerintah otak untuk tak egois.

Jeda pertama dalam perjalanan menapak Rinjani. Sudah lewat Desa Sembalun, sudah jauh dari pos satu, di mana ini? Sudah dekat menuju setapak Plawangan. Rumah kecilku hanya berisi empat perempuan minoritas di rombongan, satu tenda hangat untuk kami tempati. Perempuan-perempuan istimewa. Hanya kami berempat saja. Membesarkan hati.Perempuan-perempuan hebat dalam rombongan. Iya.


Ufuk pagi menuju Plawangan, foto miliknya : Fajar Ramadhan :)

Terbangun oleh suara-suara alam, lalu kebingungan terhadap keberadaan diri sendiri. Iya, di mana ini? Begitulah pagi itu terjadi. Tak lama kemudian pagi menjadi normal ketika aku mendengar 'tetangga sebelah' sedang sibuk melipat tenda. Pagi ini sungguh absurd. Butuh waktu untuk menyadari tempatku berpijak.

Matahari belumlah tinggi kala itu, kabut putih perlahan turun membelah perbukitan yang sungguh elok membingkai mata. Dia beruntung, di sapa ufuk pagi yang begitu cantik. Tepat ketika membuka mata. Sedikit iri.





Seperti mimpi rasanya. Ini di mana? Aku berjalan di antara kabut berwarna putih bersih. Sungguh rasanya ingin berlama-lama. Hati ini rasanya menjadi lebih bersemangat. Ini belum ada apa-apanya, tapi sudah begini indahnya.  Walau sebenarnya, tak berapa kemudian beban carrier itu terasa kembali. Oke, tak apa. :)

Mari terus melangkah, mimpi itu untuk dihadapi, untuk digenapi. (Bersambung)


Baca Versi santai perjalanan part 1 Rinjani-Lombok
part2 :D
part3 dan masih bersambung :D