Selasa, 25 Juni 2013

Lelaki Desember


Sore menjelang di hitungan akhir bulan Juni. Senja merapat masuk ke kisi-kisi jendela rumah yang sunyi sejak kepergiannya. Juni-ku tak lagi sama seperti sebelumnya. Kututup rapat, namun kubiarkan angin lembut mengayun jeda waktu dan pergantian hari ini. Seperti aku membiarkan kenangan tentangmu tetap hidup di ruang khusus, tetap diam tak beranjak. Salah memang, tapi kenangan tak pernah salah bukan?

Hari ini genap semesta membiarkan mataku tersenyum. Langit merah sehabis senja gemerlap tanpa cela. Sungguh indah. Kamu. Adakah kamu di sana? Sebentar lagi gemintang akan datang, menyapamu. Akankah pesanku sampai tepat waktu? Jarak membuatku berkenalan dengan rindu.

Rindu itu menjadi genap jika dua manusia saling merindukan. Tapi tidak bagiku. Aku tak yakin kamu merasakan kerinduanku. Kamu hidup, tapi hanya di duniaku. Rinduku terapung-apung tak sampai ke mana-mana. Seindah apa pun semesta menyampaikan rinduku lewat senja yang selalu kamu nantikan, kamu tak pernah membalas rinduku. Kamu menghilang. Rinduku tersesat.

Dan untuk beberapa waktu, semesta senja dengan setiap keistimewaannya hanya menjadi bagian dari hari-hari yang sepi. Kehadiranmu di pikiranku ternyata masih belum cukup membunuh kesunyian yang mengendap di dalam hatiku. Hari yang awalnya manis karena cerita yang terbentuk dari leburnya kata ‘aku’ dan ‘kamu’ yang menjadi ‘kita’, telah menghilang untuk waktu yang tak bisa kuterka lagi seberapa lamanya.
Aku mungkin telah menjadi bebal karena telah terlalu lama menunggu namun masih saja berharap akan kedatanganmu. Aku mungkin telah menjadi terlampau keras dengan hatiku, tak berusaha membiarkan ia disusupi oleh orang lain sebagai pengganti rasa sepiku. Aku tak tahu. Terkadang aku tak lagi mengenali diriku sendiri. Karena telah sejak lama kamu pun ketahui, kesempurnaanku hanya ketika jemarimu menggenapkan aku.

Desember. Katamu, “Aku akan mengetuk pintu rumahmu, tepat di awal Desember”. Jangan ke mana-mana, katamu. Aku hanya diam. Tanpa mengiyakannya pun, kamu sudah tahu jawabanku adalah menunggumu. Aku terlalu berani mencintaimu memang. Seseorang yang tak bisa duduk diam di satu tempat. Kamu selalu berjalan, menemukan duniamu di luar sana.

Semua cerita pasti ada mula, ada indah, ada kisah. Cerita kita pun seperti itu. Indah namun abu-abu. Kamu penentu, Semua cerita pasti ada mula, ada indah, ada kisah. Cerita kita pun seperti itu. Tak pernah kau tinggalkan sedih pada kisah kita. Tapi ada sebentuk nyata yang tak terbantahkan, kisah kita abu-abu. Kamu penentu, aku menunggumu.

Jika jatuh cinta sebanyak hujan yang akan terjadi di bulan Desember, aku mau seperti itu. Jika hujan di bulan Desember membawa tetesan indah di kaca jendela yang membawa bayangmu menjadi nyata, aku tak apa. Aku menunggumu, sesuai pesanmu.

Jika rinduku memang akan tetap kamu genapkan. Bahkan bila harus kutunggu lagi hingga senja-senja baru di penghujung tahun ini pergi, kan kulakukan itu sebagai caraku menyambutmu dan menghargai setiap kebaikan yang sejak lama telah kamu benamkan dalam setiap detik yang pernah kita lalui selama ini.
Karena padamu telah kupercayakan segala sesuatunya. Karena semua untaian cerita yang kita miliki tetap tak akan pernah ada bila bukan karena kehadiranmu dulu. Padamu kutitipkan peluk hangatku. Dan darimulah juga kan kudapatkan kehangatan itu kembali. Kamu yang akan menggenapkan kekuranganku dan menyempurnakan jiwaku.

Kamu tahu setiap hari adalah hitungan harapan untukku. Saat senja pergi, aku menitipkan doa untuk langkahmu, agar semakin dekat menujuku. Kamu tahu setiap hari aku resah tentang kabarmu yang tak pernah kuketahui. Aku hanya bisa merasakan, kamu sedang menikmati duniamu. Aku hanya tak ingin mengganggu.

Juni semakin tua. Senja kadang tak jingga. Pada pelatarannya aku merasa, kamu akan diam di sini, di hatiku. Karena menunggumu bukan sia-sia. Kita mengerti tentang setia.
Aku tahu akan kamu jumpai banyak rupa di perjalananmu. Namun pada hatiku, tempatmu pulang.
Aku menjadi lebih pandai berhitung, menanti pagi dengan tergesa. Sungguh ini sesuatu yang menyiksa. Lagi-lagi hanya jawaban “tak apa”, dari hatiku.

Namun perlahan rasa sesak itu mulai menghilang. Sesak yang sebelumnya menyiksa, tergantikan oleh rasa yang menjalar menghangatkan seluruh badanku. Kehadiranmu mulai kembali kurasakan. Resahku memudar bersamaan dengan getaran-getaran yang membuatku berdetak kencang saat namamu teringat dan menjadi satu di dalam pikirku.

Kuyakini Tuhan telah menjawab doaku. Kamu telah mendengar setiap pesanku. Dan harapan-harapan yang menyatu bersama angin yang dulu pernah menemaniku, mendengarkan ceritaku tentangmu, telah kamu temui. Kamu telah begitu dekat dan aku merasakanmu. Tak lagi terhalangi batas apa pun.
Pada hitungan-hitungan setelah Juni, semesta lebih baik hati. Ada pagi yang lengkap dengan mentari, ada malam yang dihiasi bintang-bintang. Mereka semua sepertinya menyampaikan pesanku utuh. Rindu bukan lagi tentang “aku ingin bertemu”, namun lebih kepada aku ingin menggenggam nyatamu. Harapan itu tak boleh setengah-setengah bukan? Aku tak ingin berpura-pura tak merindumu.

Pagi Desember, kusapa embun-embun yang berloncatan dari daun ke daun. Senyuman jingga malu-malu membias di sudut kamarku. Ada sisa gerimis semalam rupanya, pada tanah basah di belakang rumah.
Hatiku hangat pagi ini. Ada pesan yang datang tadi malam lewat rintik-rintik air hujan. Langkahku tak tergesa, aku ingin menyapamu yang menunggu di muka rumahku.

Kamu pulang, tepat waktu.
.
Tulisan Kolaborasi Teguh Puja dan Windri Fitria (@cappucinored)
24 Juni 2013



4 komentar:

  1. aku suka, suka, suka mbak... :)
    hmmhh,, tetep terus berkarya ya mbak..

    iihh potonya juga asiik ee,, refleksian. kapan ah aku dipoto refreksian juga. hihih :D

    BalasHapus
  2. alhamdulillah terima kasih mbak, semoga tulisannya bs mganti kesabaran mnunggu buku kelar :D
    oh itu foto pake HP 2 MP mbak, sehabis hujan, nti klo sy ke Malang dkbrin ya ^__^V

    BalasHapus
  3. kamu penentu, aku menunggumu :)

    BalasHapus