Sabtu, 01 Maret 2014

Gadis Kue Lapis







“ Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan *, Ayah akan menemuimu, Nak, membawa kunang-kunang berwarna-warni di dalam kotak kaca, Ayah janji...”

Suara lelaki berwajah matahari itu terlihat teduh, wangi tubuhnya segar seperti baru mandi. Aku menghambur ke pelukannya, menenggelamkan seluruh keluh dan keresahan yang selama ini menumpuk, mengeluarkan genangan air mata yang tertahan lama.

Lambat laun semua menjadi hamburan cahaya yang berpendar ke segala arah. Lamat-lamat kudengar suara perempuan bermata surga memanggilku.

“ Wit..., Wiwit..., bangun, Nak..., kamu kok tidur sore-sore, pamali kata orang tua mah.. “ , suara Ibuku.

Aku mengucek-ngucek mataku, mencoba beradaptasi dengan dunia nyata, selepas kembali dari alam mimpi, rasanya masih ambigu, yang tadi itu seperti nyata rasanya.

“ Kamu kalau dibangunkan susahnya minta ampun, Nak.., mandi sana, biar segar... “, suara Ibu lagi.

Kutarik tangan Ibu dan memeluknya erat. Terserah Ibu mau mau bingung atau mengomel, beliau sudah sangat mengerti segala polah putri kecilnya yang aneh ini.

Ibu balas memelukku. Kami menambahkan imbuhan ber- dan –an pada kata peluk. Seketika hangat dan nyaman menjalari seluruh tubuhku hingga dapat kurasakan pipiku menghangat.

“ Kenapa menangis, Wit..? Ada Ibu di sini.., kita akan selalu baik-baik saja..”.

“ Bu, Wiwit bertemu dengan Ayah, Bu... , Ayah datang tadi..., Ayah mau menemui Wiwit katanya.. “
.  Aku tersedu di pelukan Ibu.

Ibu hanya diam, erat pelukannya saja yang beliau berikan. Bukan jawaban berupa kata-kata. Aku tahu, mimpiku ini bukan yang pertama kali. Mimpi yang sama dan adegan yang sama. Terjadi berulang-ulang seperti adegan film yang diputar di bioskop. Kata-kata yang sama, wajah matahari yang sama, pelukan yang sama, dan air mata yang sama.

Ibu merenggangkan pelukannya. Aku pun. Ibu menatapku lama, masih tanpa kata-kata. Aku rasakan embun di matanya. Jangan, jangan lagi membuatku merasa bersalah, aku tak ingin melihat mata indah itu gerimis.

“ Ibu.., maafkan Wit ya.., bukan maksud membuat Ibu sedih lagi.., Wit yakin Ayah pasti akan kembali suatu hari nanti.., Wit Yakin...”, ucapku.

Ibu hanya tersenyum tipis dan menggenggam tanganku erat. Ah, genangan itu akan turun sebentar lagi. Kubelai pipi Ibuku yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir setengah abad.

v   


Langit menyapa dengan birunya sore itu, tapi rumah kami muram. Kehangatannya berkurang sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika aku naik kelas tiga SD. Aku anak tunggal yang lahir berselang belasan tahun setelah pernikahan Ayah dan Ibu. Iya, mereka cukup lama menantikan kehadiranku. Aku adalah anak yang istimewa, kata mereka.

Aku sangat menyukai rumahku. Tak besar tapi cukup untuk kami bertiga. Rumahku bertingkat dua, dengan halaman yang luas di depan, di belakang dan di tengah rumah. Ini yang istimewa dari rumahku. Ayah dan Ibu adalah pecinta lingkungan. Kata mereka, rumah impian adalah rumah yang banyak halaman serta pepohonan di dalamnya. Langit-langit rumahku tinggi dengan banyak sekali jendela, sehingga udara leluasa masuk.
Ditambah, kami tinggal di pinggiran kota Bandung yang masih segar. Ibu sering menyebut rumah kami, istana dengan seribu jendela di kaki bukit.

Kamarku biasa saja, namun yang tak biasa adalah hadiah dari Ayah waktu aku menjadi juara lomba menulis di sekolah. Saat itu aku masih kelas dua SD. Seminggu kemudian, saat aku pulang sekolah, Ayah sudah menungguku di ruang tamu. Tak biasanya.

“ Ayaaah..., kok ngga bilang-bilang sih pulang dari Aceh? “, aku berseru. Ayahku bertugas di Aceh, seorang peneliti.

Surprise, kan mau kasih hadiah untuk anak Ayah yang manis ini...”. Jawab Ayah.

Lalu Ayah menggendongku berkeliling rumah. Setelah aku diturunkan dari gendongannya, aku mengekor Ayah, menuju halaman belakang rumah. Dari kejauhan, aku melihat Ibu melambai-lambaikan tangannya.

Apa yang kulihat sungguh membuatku berdecak bahagia.

“Hah! Ayaaaaaah.............., ini keren banget, Yah!”, seruku sambil meloncat-loncat kegirangan.

Di hadapanku, menjulang sebentuk bangunan terbuat dari kayu yang kokoh. Ditopang batang pohon yang sangat besar. Di badan pohon itu puluhan anak tangga melangit ke atas. Rumah pohon impianku.

Aku mencium dan memeluk kedua orang tuaku. Lalu dengan tak sabar kunaiki anak-anak tangga di depanku, mengunjungi rumah pohon hadiah dari Ayah untuk yang pertama kalinya.

Ayah dan Ibu saling melingkarkan lengan, keduanya tersenyum bahagia melihatku. Wajah matahari Ayah makin berseri, mata surga Ibu pun makin bercahaya. Aku bahagia. Kuajak mereka naik ke atas, mereka harus menjadi pengunjung rumah pohonku yang pertama, sebab besok teman-temanku pasti akan kuundang ke sini.

Sore itu kami tutup dengan makan bersama di rumah pohon. Malamnya kami tidur di ruang tengah saking kelelahan. Malam itu, malam minggu. Jadwal kami berkumpul rutin. Kami namai, kencan keluarga.

Kencan keluarga yang terakhir bersama Ayah. Tak ada lagi kencan keluarga sesudahnya. Semua terjadi begitu cepat, tanpa aku siap untuk menghadapainya. Begitu pun Ibu.

v   


Pagi adalah saat-saat udara menciumi embun satu-satu. Melempar senyumnya pada mentari yang masih malu-malu. Menyapa jendela-jendela di setiap rumah, lalu membisiki penghuninya untuk beranjak dari peraduan.

Aku adalah penyuka pagi, namun tidak pagi itu. Penghujung Desember, saat dingin menelusup dengan leluasa ke dalam rumah. Pagiku berubah duka ketika Ibu yang biasanya membangunkanku dengan senyuman, pagi itu membangunkanku dengan sedu sedan. Ibu tak mampu bicara, hanya menangis dan menyebut-nyebut nama Ayah. Mata surganya tak bercahaya.

Aceh berduka, dunia pun sama. Tsunami yang datang pagi hari itu membawa Ayahku entah kemana. Sulit kugambarkan tentang ini. Ayah yang tengah bertugas di sana, rencananya seminggu lagi baru akan pulang ke rumah, hilang. Tak ditemukan keberadaannya. Tempat tugasnya, Meulaboh, adalah salah satu daerah terparah yang terkena tsunami. Ayah belum kembali lagi, hingga kini.

v   

Desember ke dua sejak kepergian Ayah. Ayahku belum pulang saja, tapi aku yakin beliau akan kembali, memeluk aku dan Ibu. Merencanakan kencan keluarga kami yang lebih seru. Kupandangi rumah pohonku yang tak berubah sejak Ayah pergi, kurawat setiap incinya, kujaga keberadaannya.


Kurapikan kembali kue-kue lapis buatan Ibu ke dalam kotak plastik berukuran sedang. Kue-kue lapis penyambung rezeki keluargaku, sejak Ayah pergi dan belum kembali. Ibuku adalah Ibu bermata surga yang darinya aku belajar banyak tentang kesabaran, ketekunan dan pantang menyerah.

Sejak duka Desember mendatangi kami, Ibu membuka usaha membuat kue dan aku membantu menjualnya juga di sekolah. Satu tahun terakhir ini usaha Ibu meningkat, Ibu pun menerima pesanan katering dalam jumlah yang lumayan. Rumahku pun ramai oleh pegawai-pegawai Ibu. Tuhan tak pernah meninggalkan kami.

v   


“ Bu, apakah Ayah menyukai kunang-kunang? Kenapa ya Ayah selalu bilang kalau aku menangis, maka aku tak bisa melihat kunang-kunang lagi, Bu? “, tanyaku sore ini, menemani Ibu minum teh.

Ibu menghela nafas, lalu tersenyum lembut padaku.

“Wit, kunang-kunang adalah binatang yang hebat, ia mengeluarkan cahayanya sendiri. Begitu pun Ayahmu, beliau hebat dengan segala cinta dan pengorbanannya untuk kita. Kamu masih yakin Ayahmu akan pulang, Wit? “

“Wit yakin, Bu.. , Ayah akan kembali ke rumah ini.. “ , mataku beraca-kaca.

“ Ayah akan pulang, selama cahaya harapan dan doa kita tak putus untuknya, Wit.., Berdoalah terus, harapanmu menguatkan Ibu, Nak.. “ .

v   

Cinta adalah cahaya. Cahaya menuntun kita ketika gelap dan hilang arah. Selayak doa dan harapan yang tak putus, seperti itulah benderangnya. Yang hilang, sebenarnya tak hilang. Mungkin Ayah sedang bepergian.



Ayah, segera pulang ya. Gadis kue lapis dan perempuan bermata surga selalu menunggumu, wahai lelaki berwajah matahari.



: * #Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar