Selasa, 30 September 2014

Bumi dan Matahari Jatuh Hati Padamu







Bumi
Lagi-lagi langit muram. Aku mendongak lebih lama. Kurentangkan tanganku lebar-lebar, agar riuh angin menelusup bebas ke dalam hatiku. Ini musim apa sebenarnya? Mengapa matahari enggan sekali berbagi cahayanya walau sedikit?

Udara kering. Taman ini sendu sekali. Daun-daun terserak beberapa meter, lalu diam. 25 tahun hidup di dunia, inilah tahun tersuram bagiku. Hanya dia, yang membuat hidupku sedikit bersinar. Tunggulah beberapa saat lagi, biasanya dia akan melewati taman ini untuk kemudian dijemput oleh siapa aku tak tahu. Mungkin ayahnya, supirnya, omnya, atau mungkin tunangannya. Tapi, kemungkinan terakhir sepertinya tidak mungkin. Perempuan itu dijemput oleh pria dewasa yang aku taksir usianya jauh lebih tua darinya. Atau mungkin, dia penyuka lelaki lanjut usia? Semoga tidak. 

Aku pura-pura membaca buku yang aku pinjam dari temanku, semoga dia terkesan. Ah, salah tingkah, padahal dia belumlah lewat.

***

Matahari
Manusia-manusia itu terlihat resah. Cadangan air mereka pastilah sudah menipis. Air akan menjadi barang yang sangat mahal sebentar lagi. Sebenarnya aku kasihan pada mereka. Tapi, mengingat tingkah laku mereka yang seenaknya, aku jadi malas. Biar saja, biar mereka menderita dan merasakan dulu kesusahan. Biar mereka bisa lebih menghargai.

Angin menyapaku lalu pergi. Awan tersenyum dan kuberi senyuman balik. Mereka sungguh sahabat-sahabat yang mengerti. Aku resah sebenarnya dengan perbuatanku sendiri. Mungkin di bawah sana, manusia-manusia baik itu menjadi korban keegoisanku, mereka yang sebenarnya mencintai sekitar mereka. Ah, dilema. Salah satunya mungkin dia. Iya, perempuan yang selalu melewati taman di sore hari.

Itu dia. Dia begitu manis sore ini. Tanpa riasan berarti pun wajahnya sungguh enak dipandang. Begitu anggun walau bersepatu kets. Senyumnya begitu tulus, tanpa sadar aku pun tersenyum. Semoga dia melihat.

Dia mendongak sebentar ke sini. Aduh, aku malu.

***

Bumi
Apa aku tidak salah? Tadi matahari bersinar. Sebentar memang, kemudian redup kembali. Mendung, tapi tiada pernah ada hujan. Saat yang sama perempuan itu mendongak ke langit. Lalu matanya menatapku sejenak lalu. Kami bersitatap beberapa detik. Refleks aku kembali menekuri bacaan yang sebenarnya sama sekali tak kubaca. Ah, bodoh sekali, kenapa tadi tak memberinya senyuman. Aku merutuki diriku sendiri.

Dunia bertambah suram. Sore ini cukup. Dia sudah dijemput oleh si entah siapa itu. Malam sebentar lagi akan menjelang. Sama saja. Siang dan malam di sini tak terlalu berbeda jauh. Malam gelap pekat, sedang siang hanya kelabu, walau kadang pekat.

Dunia tempatku tinggal sudah tak ramah lagi. Semua seperti manusia-manusia robot. Bernyawa tapi tak berhati. Lalu lalang kendaraan yang bahan bakarnya membuat siang seperti malam, dan malam bertambah kelam.

Aku berjalan sambil sesekali menendang-nendang kaleng bekas minuman siap saji. Tiba-tiba aku menghentikan langkahku, kaleng bekas minuman itu entah sudah ke mana.

Beberapa meter di hadapanku, ada perempuan itu. Bukankah tadi dia sudah dijemput? Apa yang sedang ia kerjakan?

***


Matahari
Wah rupanya senyum sejenakku tadi menjadi trending topic di bawah sana. Perempuan tadi mana ya? Oh rupanya dia sudah dijemput oleh ayahnya. Pasti ayahnya, tunangan atau pacarnya tak mungkin selanjut itu usianya. Pacarnya? Apakah perempuan itu sudah mempunyai kekasih? Semoga belum.

Jatuh cinta yang begitu sulit. Siapa nama perempuan itu aku belum tahu. Pernah terpikir meminta tolong pada angin untuk menyusup sejenak ke kamarnya atau tempat dia kuliah, atau saat dia tengah melintas melewati taman seperti biasa. Tapi, aku malu. Reputasiku bisa runtuh nanti.

Eh, mana perempuan itu? Yah...kehilangan jejaknya.

***


Bumi
Aku berdiri dengan jarak yang cukup aman darinya. Perempuan itu tertawa-tawa dikelilingi beberapa anak kecil yang berpakaian sederhana dan agak kotor. Anak-anak itu sepertinya pemulung atau anak-anak jalanan.

Perempuan yang masuk kategori keren dan langka. Mau berdekat-dekatan dengan anak-anak yang sedikit kotor, dan mungkin bau. Aku melangkah lagi beberapa meter. Penasaran, mereka sedang apa.

Setelah mendapat spot yang lebih enak, kini aku bisa melihat dengan lebih jelas. Sayup-sayup kudengar perempuan itu berkata sesuatu. Oh, suaranya begitu merdu. Lembut namun berkarakter. Dia mengajak apa tadi? Operasi semut?

Perempuan itu membagikan plastik-plastik berukuran besar kepada anak-anak di sekitarnya. Anak-anak itu berebutan untuk mengambil plastik darinya. Kok, mau ya? Tapi, aku juga mau. Motif kamu beda, aku mendengar suara hatiku sendiri.

Kini mereka berlarian ke segala arah. Memunguti sampah-sampah yang berserakan di sekitar mereka. Perempuan itu juga melakukannya. Aku mundur beberapa langkah, saat perempuan itu menuju tempatku.

Wajahnya bersinar, padahal matahari sore sama sekali tak membagi kemilaunya.

***


Matahari
Oh itu dia. Kenapa dia tak jadi pulang ya? Mana body guardnya? Sekarang ia sedang dikelilingi anak-anak yang hmmm... sepertinya anak-anak jalanan. Waduh, lagi apa ya dia? Apa anak-anak itu tidak berbahaya? Aku khawatir.

Anak-anak itu dengan antusias mengerubungi perempuanku. Perempuanku? Yah, bolehlah sedikit ngaku-ngaku. Aku menajamkan pendengaranku. Apa katanya? Operasi semut?

Seketika anak-anak itu berlarian ke segala arah. Memunguti sampah-sampah yang berserakan di sekitar mereka. Perempuan itu juga melakukannya. Aku tercekat. Ingin membantunya. Tapi bagaimana bisa?

***


Bumi
Untuk beberapa saat aku hanya terpekur di tempatku berpijak. Perempuan itu telah membuatku jatuh hati, dan kini, aku jatuh hati untuk yang kedua kalinya. Cantik dan berbudi. Kata ibuku, carilah perempuan yang seperti itu. Tidak hanya cantik fisik, tapi cantik pula hatinya.

Anak-anak itu telah kembali dengan kantung-kantung plastik yang terisi penuh. Mereka mengerubungi perempuanku. Hah? Perempuanku? Kenal juga belum. Jadi malu. Loh, mereka mau ke mana, kok pergi?

Perempuan anggun bersepatu kets itu berjalan riang, tangannya menggandeng anak-anak yang tak kalah riang dengannya. Semakin lama, mereka semakin jauh dari hadapanku. Lagi-lagi aku terpekur. Ada sesuatu yang terasa di hatiku. Aku malu. Iya, malu pada perempuanku. Woy! Dia bukan milikmu. Iya, Iya.

Perempuan hebat. Aku terkadang hanya bisa merutuk dan merutuk tanpa berbuat. Tapi dia? Ah, aku semakin jatuh cinta padanya. Semoga besok sore aku bisa bertemu dengannya lagi.

Aku melangkah pulang, sambil sesekali kuambil sampah-sampah yang ada di hadapanku. Kumasukkan ke dalam ranselku. Kotor? Tak apa. Aku ingin berbuat sesuatu juga.

***


Matahari
Mataku berkaca-kaca. Dia sungguh cantik, hati dan perangainya. Perempuan itu telah membuatku jatuh hati, dan kini, aku jatuh hati untuk yang kedua kalinya. Cantik dan berbudi. Kata ibuku, carilah perempuan yang seperti itu. Tidak hanya cantik fisik, tapi cantik pula hatinya.

Aku begitu malu. Aku terlalu egois dengan sikapku yang begini. Enggan berbagi cahayaku walau sedikit. Apa yang dilakukan perempuan itu membuatku terdiam. Ada sesuatu yang terasa di hatiku. Aku malu. Iya, malu pada perempuanku. Woy! Dia bukan milikmu. Oh, iya.



Baiklah, aku mengangguk-angguk sendiri. Esok aku akan membuat wajahmu lebih bersinar. Semoga esok kita bisa berjumpa lagi ya, dan semoga esok engkau bahagia di sana, menikmati sore yang berjingga, dariku. 



*Cerpen ini diikutsertakan dalam #30DaysSaveEarth



5 komentar: