sahabat kecil :) |
“ Sahabat itu selalu ada, saat yang
lain tiada “
Aku
bergegas menyeret langkahku lebih cepat, tanpa jeda. Waktu seolah
menertawakanku sekarang, mengejekku yang terlalu sombong. Ya! Aku sombong, aku
yang bilang kita pasti akan bertemu lagi secepatnya. Benar! Dalam hitungan hari,
kita akan bertemu lagi, tapi sungguh, tidak di tempat ini, kawan.
“ Nah kan, kubilang juga apa, kamu
masih saja seperti dulu, kopi pahit tanpa gula, apa enaknya coba?”
“ itulah seninya minum kopi,
semakin pahit, semakin terasa enaknya!” , ujarmu.
Sore
yang sedang gerimis seminggu lalu, kita dan kedai kopi langganan. Tentu saja
dengan perbincangan hangat dua sahabat.
Cahaya
lampu lorong rumah sakit terbesar di kotaku ini cukup terang, tapi aku merasa
semua gelap. Bau obat semakin membuat perasaanku tak enak. Sungguh, aku tak
pernah bersahabat dengan rumah sakit. Aku selalu resah bila mengunjungi rumah
sakit. Tak pernah merasa betah berlama-lama menyapa dinding putihnya yang
pucat. Seolah tak ada warna yang bisa aku nikmati, semua putih, seolah harapan
menipis dan habis di tempat ini.
“ Apa kabar Jasmine kecil dan
Jasmine besar? “ , tanyaku.
“ Hehehehe, mereka sungguh
malaikat-malaikat penyemangatku “ , dirimu tersenyum
Aku
membayangkan sosokmu yang telah menjelma menjadi seorang ayah dan suami yang
hebat. Kamu selalu lebih hebat dariku, kawan. Aku selalu ketinggalan langkah darimu.
Teringat dulu, ketika kau mendatangiku di suatu sore dengan muka bercahaya yang
sulit aku gambarkan. Wajahmu tersenyum, menyampaikan berita bahagia itu. Ya,
kau berhasil menyakinkan Jasmine, untuk menjadi teman hidupmu.
“ Tak membenarkanmu saat kau salah
“
Samar
aku menatap kamar UGD. Dadaku sesak. Pintu
kamar tempatmu sedang berbaring itu tertutup rapat. Angkuh. Aku terdiam di
tempatku. Kakiku seolah terbenam ke tanah. Aku enggan beranjak. Aku takut.
“ Ah, kamu terlalu pemilih, kawan “
“ Aku hanya ingin berhati-hati saja
dan mendapatkan yang terbaik “ , aku membela diri.
“ bukan itu alasanmu, kamu belum
bisa melupakan dia, iya kan? “
Skak
mat. Kamu selalu tahu apa yang sebenarnya. Tak membenarkanku ketika aku salah.
Apa adanya. Bukan sahabat namanya, jika selalu membuatmu bahagia dengan
pembenaran-pembenaran, begitu katamu. Bukan sahabat namanya, jika tak bisa
memberimu masukan yang kau perlukan. Kamu, selalu menjadi penyeimbangku.
“Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Kita berbincang tentang memori di masa itu
(Kisah Klasik Untuk Masa
Depan, Sheila on 7)
“ Sudah malam ini, dua Jasmine
menungguku di rumah “
“ Nantilah lima belas menit lagi,
segelas lagi cukup “ , bujukku.
“ Secepatnya kita bertemu lagi,
masalahmu tentang si embun pagi itu belum beres, kawan “
Lalu,
kita saling berjabat tangan erat. Matamu menatap dalam mataku, sejurus kemudian
ribuan nasehat meluncur deras. Kamu selalu seperti itu, selalu
mengkhawatirkanku. Seperti saudara kandung. Kita tak bisa memilih siapa orang
tua kita, namun kita bisa menentukan siapa sahabat kita. Aku memilihmu.
Pintu
kamar itu sedikit terbuka kini. Perlahan aku maju, memberanikan diri masuk ke
dalam. Biar aku bisa melihatmu lebih
jelas, lebih dekat. Kamu terpejam. Tersenyum, namun diam. Kedua Jasmine-mu
setia, kawan. Mereka ada di dekatmu, selalu.
Aku
datang. Mungkin aku terlalu mengkhawatirkanmu, kawan. Aku tahu kamu kuat,
hebat. Arena balap mana yang tak bisa kau taklukkan? Kemarin itu hanya
kecelakaaan.
Ah,
dalam sakitmu pun aku kalah, kawan. Kamu terlihat tegar, aku salut.
“ Yang ada saat yang lain tiada,
tak selalu mebenarkan kata-katamu, aku ingin menjadi seperti itu, menjadi
sahabatmu “
semoga dia cepat sembuh :(
BalasHapusdia sudah sembuh :)
BalasHapusSeperti membaca novel panjang, yang dibuat begitu singkat, padat dan penuh isi. Selamat buat karya-karya nya ya..:)
BalasHapusthanks ya sm_arstk buat apresiasinya, ini masih belajar, amin, doakan ya :)
BalasHapus