Sabtu, 29 Maret 2014

Menyerpih Rindu Yang Berserakan di Jalanan Sehabis Hujan





Mungkinkah ini yang dinamakan takut kehilangan? Tangan mungilku tak mampu menjangkaumu yang sedang terentang oleh jarak. Aku tak tahu apa yang sedang kau kerjakan, kau sedang menghabiskan makan siangmu dengan siapa.

Trotoar sepanjang jalan menuju rumah basah. Sesekali terdengar umpatan pejalan kaki, ketika kendaraan yang sedang melintas meninggalkan jejak berupa cipratan air genangan hujan.  Seorang anak melangkah tergesa sambil sesekali memutar-mutar payung yang melindungi tubuhnya.

Lagi-lagi aku pulang lebih sore dari biasanya. Pekerjaan sedang menumpuk, namun baguslah, setidaknya kesibukan mengalihkan perhatianku dari sekedar mengkhawatirkanmu. Khawatir bahwa kamu melupakan aku, walau itu cuma sesaat. Aku selalu ingin menjadi orang nomor satu yang kau ingat. Ralat, aku ingin menjadi orang yang nomor tiga saja, yang nomor satu tentu saja Tuhan, yang kedua, ibumu.

Rasanya aku sedikit kesal saja, jika perhatianmu berkurang walau sedikit. Sebut aku berlebihan, tak apa.

"Kamu terlalu posesif itu namanya"  Ujarnya, saat itu kami sedang berjalan-jalan di kotanya. Pertemuan kami kesekian kalinya di antara jarak yang tercipta.

Tangannya mengenggam jemariku. Lalu diam melebur segala keresahanku. Aku begitu mencintai lelaki di sebelahku ini. Mungkin itu yang membuat aku berlebihan, terlalu merasa memiliki.

"Kamu tak usah khawatir begitu, kita akan baik-baik saja, percayalah" Ia berusaha meyakinkanku, membuatku tenang.


Jika saja aku mampu, ingin kuhentikan waktu saat dia ada nyata di hadapanku. Kubekukan detik agar tak berubah menjadi menit. Kemudian kumasukkan berlapis-lapis rindu yang terlukis di matanya yang tajam. Kusimpan, kuabadikan.

Apakah mencintai itu harus seperti ini? Merasai rindu yang terkadang menyesakkan dada? Apakah benar ini cinta. Realitasnya, aku bahagia bersamanya. Mungkin rindu terlalu cepat datang. Iya, rindu selalu mempermainkan aku hingga selarut ini.


-Sore, kamu sudah di rumahkan? miss you, so bad-


Kupandangi layar handphone cukup lama. Inginnya kukirim langsung pesan pendek itu segera saat itu juga. Namun, aku ingin belajar menahan diri, menahan rinduku. Menahan segala rasa yang berserakan. Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku hanya sedang merindukanmu saja.




Rabu, 12 Maret 2014

Alzheimer

Sketsa karya Onty @I_am_BOA




"Bolehkah aku menyuapimu seperti biasa?".

Lelaki itu datang lagi. Ia mengenakan jaket flanel berwarna cokelat. Datang di saat aku tengah menikmati pagi di balkon rumah sakit.

Adegan ini sepertinya sudah pernah aku alami sebelumnya. Aku mengingat dengan keras, namun gagal. Aku hanya mampu memandangnya dengan senyuman. Aku tak ingat apa-apa.


 “Sepertinya kita tak saling kenal, dan saya bukan anak-anak, tidak perlu disuapi... “


Lelaki berflanel cokelat itu hanya tersenyum dan memberiku kotak bekal berwarna biru muda.


“ Ini salah satu makanan kesukaanmu, ..”  Ia berlalu setelah matanya menatapku dalam.  Cukup lama.



Itu adalah pertemuanku dengannya hampir dua bulan lalu. Setelahnya, aku masih berusaha mengingat-ingat tentang siapa dia. Semakin aku mencoba mengingat, sakit kepalaku ini semakin menjadi. Aku menyerah.


Lelaki itu datang lagi, tadi malam, di mimpiku. Ia menatapku lama, lalu mengatakan bahwa aku dan dirinya berteman.

Siapa dia? Di mimpi itu mengapa aku seolah-olah tak asing dengan matanya?


Bolehkah aku meminjam matanya? Agar aku bisa menemukan siapa aku di masa lalu. 





Sekilas tentang 'Alzheimer'

Rabu, 05 Maret 2014

Serendipity April





Jalanan belakang kantorku adalah jalanan favorit yang selalu ingin aku lalui selepas jam kerja. Pohon-pohon besar di kiri – kanan  jalan, bangku-bangku berwarna putih pucat, dan beberapa pasang muda-mudi yang membunuh waktu dengan kebersamaan.  

Sinar matahari sore itu nampak sempurna membentuk bayangannya. Dia yang berjalan tak jauh dari hadapanku. Bermafela abu-abu muda, serasi dengan busana kantor yang ia kenakan. Dia yang namanya belum aku ketahui.  

Sebut aku pengecut atau pecundang. Sudah empat kali sore berulang di penghujung bulan April ini. Kulewati jalanan yang sama, hanya agar dapat kutemui bayangan orang yang sama. Bayangannya.

Entah keberanian yang muncul tiba-tiba atau karena aku merasa takut tak berkesempatan bertemu dengannya lagi, aku ingin berkenalan dengannya kali ini. Memandang wajahnya, bukan punggungnya. Lelaki yang sedang jatuh cinta ternyata begini rasanya. Sedikit tergesa, kukejar bayangannya yang melenggang anggun.  


“Indah......”.  
Aku kaget mendengar suaraku sendiri.


Perempuan itu menoleh, wajahnya terukir senyum, dua lesung pipit menghias sempurna, pun tahi lalat kecil diujung kiri bibirnya yang tipis. Dunia berhenti berputar.

* #FF161Kata Kru BFG kali ini temanya "tahi lalat" dan FF ini adalah FF duet bersama Widi, FF yang saya buat ceritanya dilanjutkan oleh Widi. Ini linknya sila baca " Sahara April "




Sabtu, 01 Maret 2014

Perempuan yang Tinggal Bersama Kenangan






Dear, perempuanku..
Kukabari, aku tengah berada di tengah lautan, memandangi gemintang dan langit yang bersih. Kamu tahu, ada riak dan debar di hatiku, jika mengingatmu. Namun aku hanya bisa diam saja, kita terpaut jarak.

Jarak, sebenarnya aku tak mempermasalahkan soal jarak, ada hal yang jauh lebih menyesakkan daripada sekedar itu. Senyummu. Aku akan sangat sulit menemukan senyummu lagi.

Semoga kamu tengah tersenyum dalam tidurmu, tak terganggu penat dan kesedihan masa lalu. Masa lalu yang tak ada aku di situ, saat kita belum saling tahu. Semoga dingin tak menyapamu malam ini, cukup aku saja, bersama lara yang menyeruak perlahan, linier dengan kerinduan padamu, yang tak pernah sampai.

Aku tak bisa memejamkan mataku barang sejenak. Pikiranku penuh tentangmu, tentang kita. Kita yang tak bisa berkisah bahagia hingga kini.

Kukabari kau secepatnya, jika aku sudah tiba di tempat tujuan. Segera kukabari, aku janji. Berharap kau menanti-nanti kabar dariku, selayak kekasih yang merindukan belahan jiwanya. Hanya khayalanku saja. Sedari tadi entah sudah berapa kali kupandangi layar telepon genggamku, namun ia diam saja, tak ada bunyi, tak ada pesan atau panggilan darimu.

Semoga kamu tak sedang menangis. Katamu, menangis itu melegakan. Kamu tak pernah tahu, apa efek tangisanmu untukku, aku merasa sangat bodoh tak bisa membuat perasaanmu lebih baik saat kau menangis. Tahukah kamu?

v   

Aku mengenalmu saat kau sedang tertawa lepas. Kubidikkan lensaku padamu. Di antara kerumunan itu, bagiku, kamu paling bersinar. Berambut pendek dan memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah bata. Tertawa lepas seolah tak pernah ada beban dalam hidupmu.

Aku mengabadikan tawamu berkali-kali. Lalu kamu terkejut sembari tersenyum malu saat aku menghampirimu dan kerumunanmu. Memperkenalkan diri dan menunjukkan hasil bidikanku. Aku beri judul, “Perempuan yang Selalu Bahagia”.  Matamu membulat indah, kamu tersipu malu. Perempuan cantik bermata indah, bersinar seperti kunang-kunang.

“ Hah, kok Kamu tahu aku menyukai kunang-kunang? Kamu peramal ya? “, candanya ketika kukatakan matanya bersinar seperti kunang-kunang.

Rayna. Namamu Rayna. Hanya lima huruf itu saja, tanpa embel-embel setelahnya.

“Aku Bumi, hanya Bumi”, sembari kujabat tanganmu erat, seketika itu perasaanku menghangat. Jika boleh, aku ingin saat itu waktu berhenti berputar, agar aku bisa terus menggenggam tangannya. Konyol sekali.

Malam setelah kita berkenalan, aku merasakan kembali apa yang orang-orang sebut, jatuh cinta. Perasaan yang meluap-luap bahagia, entah karena alasan apa.  Aku seperti melihat segalanya, saat melihatmu. Ada perasaan teduh dan nyaman. Ini sepertinya kurang masuk akal. Begitulah.  Aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang matanya bersinar seperti kunang-kunang.

v   


Sore kesekian setelah beberapa bulan kita berkenalan. Aku duduk berhadapan dengannya yang tengah memandang ke luar jendela. Matanya menerawang jauh, tak berada di tempatnya berpijak sekarang. Sedang aku, hanya menatapnya, berharap ia segera sadar, ada aku yang tengah memandanginya. Perempuanku selalu asyik dengan dunianya sendiri. Aku belum bisa menemuimu di duniamu ternyata.

Aku selalu merasa, perempuanku adalah sosok yang rapuh, sekuat apapun ia terlihat di permukaan. Ada sesuatu dalam binarnya yang kadang meredup.

Tiba-tiba ia menatapku lekat.

“ Tuan Bumi, apakah kamu pernah cemburu pada seseorang?” , ujarnya sambil menakupkan tangan pada dagunya yang lancip.
Aku terdiam beberapa saat. Entah jawaban macam apa yang harus aku katakan padanya.  Perempuanku masih lekat menatapku, sepertinya pertanyaannya harus kuberi jawab.

“Pernah, sering malah...”.  Aku memberinya jawaban yang jujur.

“Wah..., bagaimana rasanya? Cemburu sama siapa? Kamu mengada-ada ya? “, candanya.

Aku tertawa. Perempuanku ini kalau sudah bertanya, pertanyaannya borongan. Kupandangi wajahnya, kujawab dalam hati. Aku pernah cemburu, sering malah. Cemburu padamu, perempuanku. Saat kau tak menyadari “adanya” aku di dekatmu. Saat kau tak pernah mengerti, bahwa aku yang nyata untukmu. Bukan dia, yang entah siapa, yang selalu mengalihanmu, membawamu ke duniamu, dan aku tak pernah dapat mengikutimu. Udaramu entah berwarna apa, aku tak pernah bisa melihatnya.

Bagaimana rasanya cemburu? Rasanya tidak enak, aku merasa diabaikan olehmu, perempuanku. Saat kita hanya melewatkankan waktu berdua, aku merasa ada orang lain, dan aku hanya menjadi bayang-bayang.  Jawabanku tenggelam di riuh hujan senja kala itu. Kamu, kembali tenggelam di ujung jendela, memandang keluar, seolah aku tak ada. Aku, tersenyum dalam diam.

v   

Mungkin jika ada orang lain dalam kamar ini, Ia akan melempariku dengan benda apa saja, hanya agar aku berhenti mondar-mandir. Duduk, lalu berdiri. Kamu menghilang.  Tak berkabar sedari kemarin. Awalnya aku tak terlalu khawatir, kamu biasa begitu, tapi tak pernah lebih dari lima jam, kamu akan memberiku kabar. Ini tak biasa.

Lewat pukul sepuluh malam dan telepon genggammu masih belum bisa dihubungi. Hujan makin deras di luar, udara semakin menggigit, dingin sekali. Aku tak ingin membayangkan hal-hal buruk. Perempuanku baik-baik saja, mungkin ia sedang ingin menyendiri.

Aku memicingkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sinar lampu. Ah, rupanya aku masih di kamar, tertidur. Pukul tiga dini hari. Ada pesan masuk. Segera aku menegakkan badan, jantungku berdebar.

“Aku sakit, aku sakit, Tuan Bumi..., aku ingin berjumpa dengannya, aku rindu.. , “


Aku meluncur cepat menemuinya.  Jalanan basah setelah hujan menyapa dalam derasnya. Meninggalkan genangan di sana-sini. Perempuanku, bertahanlah. Jangan kalah.
Aku tak pernah mendengar luncuran cerita dari mulutmu, tapi aku tahu, mata kunang-kunangmu terkadang berhenti bersinar. Entah untuk sebab apa. Aku hanya ingin kau memberitahuku di waktu yang tepat, aku tak ingin memaksamu bercerita.

Perempuanku meringkuk di dalam selimut. Matanya sembab, hidungnya kemerahan. Segelas cokelat panas kuberikan padanya. Ia menggeleng. Isaknya tiba-tiba terdengar. Aku memeluknya, erat. Kubiarkan perempuanku terlelap, kugenggam tangannya erat.


Jika aku mampu, aku mau menghapus kesedihannya, menghapus jejak kenangan yang tak indah dalam hidupnya. Hanya jika aku mampu. Perempuan yang pernah aku beri label “selalu bahagia” ini sebenarnya rindu akan kebahagiaannya. 

“Aku sakit Tuan Bumi..., tak usah pedulikan aku...” .

Aku bermalam di rumahnya, tak tega kutinggalkan perempuanku yang sedang sakit. Sakit akan kenangannya.

v   

Hujan semalam adalah berarti kenangan yang menyergap sejuta kesakitan bagi perempuanku. Hujan adalah serupa kehilangan baginya. Tak pernah lagi perempuanku mencintai hujan.


“ Aku kehilangan, dan tak mampu mencintai lagi, aku tak pantas dicintai.. , aku tak mampu meninggalkan kenanganku.., aku merindukannya, aku merindukannya yang selalu mengajakku melihat kunang-kunang “

“ Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu* mungkin dia sedang menunggumu, membawakanmu kunang-kunang..” , aku berceracau menghiburnya. Hatiku sesungguhnya menangis.


Perempuanku kecewa. Ia yang dirindukannya tak pernah datang lagi. Perempuanku menyediakan “rumah”, namun penghuninya tak pulang tepat waktu. Entah kapan akan mengunjunginya lagi.

Aku tahu, tak akan pernah bisa memenangkan hatinya.  Peempuanku hidup bersama kenangannya. Kenangan yang tak ada aku di dalamnya. Tak akan pernah ada. Oleh karenanya, aku pergi.

“ Cintamu tak akan pernah mampu membuatkanku kenangan baru, Tuan Bumi. Aku memilih tinggal selamanya di sini, di kenanganku. Doakan saja, semoga aku mampu hidup kembali.. “.  Kata-katanya di pertemuan terakhir kami, sebelum aku pergi.

v   

Dear, perempuanku...
Setiap orang mempunyai kenangan. Setiap orang mempunyai bagian dalam hidupnya yang ingin dia simpan rapat-rapat, hanya untuk diingat, atau belum bisa dilupakan, atau justru ingin dibuang atau bahkan dilupakan. Aku menghargai pilihanmu untuk tetap tinggal. Jangan Kau tanya sesakit apa rasanya, melihatmu tenggelam dan berjalan sendirian. Aku sakit.

Berdamailah dengan kenangan, wahai perempuanku. Biar saja kenanganmu itu hilang bersama hampa udara. Jangan meredup, aku ingin melihatmu bersinar seperti kunang-kunang.
           
v   

Aku sudah tiba, namun entah mengapa aku ingin pulang, menemuimu. Mencoba kembali, membawamu pergi dari kenanganmu.

Bumi merindumu, wahai perempuan bermata kunang-kunang. 



*#Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.
*

Gadis Kue Lapis







“ Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan *, Ayah akan menemuimu, Nak, membawa kunang-kunang berwarna-warni di dalam kotak kaca, Ayah janji...”

Suara lelaki berwajah matahari itu terlihat teduh, wangi tubuhnya segar seperti baru mandi. Aku menghambur ke pelukannya, menenggelamkan seluruh keluh dan keresahan yang selama ini menumpuk, mengeluarkan genangan air mata yang tertahan lama.

Lambat laun semua menjadi hamburan cahaya yang berpendar ke segala arah. Lamat-lamat kudengar suara perempuan bermata surga memanggilku.

“ Wit..., Wiwit..., bangun, Nak..., kamu kok tidur sore-sore, pamali kata orang tua mah.. “ , suara Ibuku.

Aku mengucek-ngucek mataku, mencoba beradaptasi dengan dunia nyata, selepas kembali dari alam mimpi, rasanya masih ambigu, yang tadi itu seperti nyata rasanya.

“ Kamu kalau dibangunkan susahnya minta ampun, Nak.., mandi sana, biar segar... “, suara Ibu lagi.

Kutarik tangan Ibu dan memeluknya erat. Terserah Ibu mau mau bingung atau mengomel, beliau sudah sangat mengerti segala polah putri kecilnya yang aneh ini.

Ibu balas memelukku. Kami menambahkan imbuhan ber- dan –an pada kata peluk. Seketika hangat dan nyaman menjalari seluruh tubuhku hingga dapat kurasakan pipiku menghangat.

“ Kenapa menangis, Wit..? Ada Ibu di sini.., kita akan selalu baik-baik saja..”.

“ Bu, Wiwit bertemu dengan Ayah, Bu... , Ayah datang tadi..., Ayah mau menemui Wiwit katanya.. “
.  Aku tersedu di pelukan Ibu.

Ibu hanya diam, erat pelukannya saja yang beliau berikan. Bukan jawaban berupa kata-kata. Aku tahu, mimpiku ini bukan yang pertama kali. Mimpi yang sama dan adegan yang sama. Terjadi berulang-ulang seperti adegan film yang diputar di bioskop. Kata-kata yang sama, wajah matahari yang sama, pelukan yang sama, dan air mata yang sama.

Ibu merenggangkan pelukannya. Aku pun. Ibu menatapku lama, masih tanpa kata-kata. Aku rasakan embun di matanya. Jangan, jangan lagi membuatku merasa bersalah, aku tak ingin melihat mata indah itu gerimis.

“ Ibu.., maafkan Wit ya.., bukan maksud membuat Ibu sedih lagi.., Wit yakin Ayah pasti akan kembali suatu hari nanti.., Wit Yakin...”, ucapku.

Ibu hanya tersenyum tipis dan menggenggam tanganku erat. Ah, genangan itu akan turun sebentar lagi. Kubelai pipi Ibuku yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir setengah abad.

v   


Langit menyapa dengan birunya sore itu, tapi rumah kami muram. Kehangatannya berkurang sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika aku naik kelas tiga SD. Aku anak tunggal yang lahir berselang belasan tahun setelah pernikahan Ayah dan Ibu. Iya, mereka cukup lama menantikan kehadiranku. Aku adalah anak yang istimewa, kata mereka.

Aku sangat menyukai rumahku. Tak besar tapi cukup untuk kami bertiga. Rumahku bertingkat dua, dengan halaman yang luas di depan, di belakang dan di tengah rumah. Ini yang istimewa dari rumahku. Ayah dan Ibu adalah pecinta lingkungan. Kata mereka, rumah impian adalah rumah yang banyak halaman serta pepohonan di dalamnya. Langit-langit rumahku tinggi dengan banyak sekali jendela, sehingga udara leluasa masuk.
Ditambah, kami tinggal di pinggiran kota Bandung yang masih segar. Ibu sering menyebut rumah kami, istana dengan seribu jendela di kaki bukit.

Kamarku biasa saja, namun yang tak biasa adalah hadiah dari Ayah waktu aku menjadi juara lomba menulis di sekolah. Saat itu aku masih kelas dua SD. Seminggu kemudian, saat aku pulang sekolah, Ayah sudah menungguku di ruang tamu. Tak biasanya.

“ Ayaaah..., kok ngga bilang-bilang sih pulang dari Aceh? “, aku berseru. Ayahku bertugas di Aceh, seorang peneliti.

Surprise, kan mau kasih hadiah untuk anak Ayah yang manis ini...”. Jawab Ayah.

Lalu Ayah menggendongku berkeliling rumah. Setelah aku diturunkan dari gendongannya, aku mengekor Ayah, menuju halaman belakang rumah. Dari kejauhan, aku melihat Ibu melambai-lambaikan tangannya.

Apa yang kulihat sungguh membuatku berdecak bahagia.

“Hah! Ayaaaaaah.............., ini keren banget, Yah!”, seruku sambil meloncat-loncat kegirangan.

Di hadapanku, menjulang sebentuk bangunan terbuat dari kayu yang kokoh. Ditopang batang pohon yang sangat besar. Di badan pohon itu puluhan anak tangga melangit ke atas. Rumah pohon impianku.

Aku mencium dan memeluk kedua orang tuaku. Lalu dengan tak sabar kunaiki anak-anak tangga di depanku, mengunjungi rumah pohon hadiah dari Ayah untuk yang pertama kalinya.

Ayah dan Ibu saling melingkarkan lengan, keduanya tersenyum bahagia melihatku. Wajah matahari Ayah makin berseri, mata surga Ibu pun makin bercahaya. Aku bahagia. Kuajak mereka naik ke atas, mereka harus menjadi pengunjung rumah pohonku yang pertama, sebab besok teman-temanku pasti akan kuundang ke sini.

Sore itu kami tutup dengan makan bersama di rumah pohon. Malamnya kami tidur di ruang tengah saking kelelahan. Malam itu, malam minggu. Jadwal kami berkumpul rutin. Kami namai, kencan keluarga.

Kencan keluarga yang terakhir bersama Ayah. Tak ada lagi kencan keluarga sesudahnya. Semua terjadi begitu cepat, tanpa aku siap untuk menghadapainya. Begitu pun Ibu.

v   


Pagi adalah saat-saat udara menciumi embun satu-satu. Melempar senyumnya pada mentari yang masih malu-malu. Menyapa jendela-jendela di setiap rumah, lalu membisiki penghuninya untuk beranjak dari peraduan.

Aku adalah penyuka pagi, namun tidak pagi itu. Penghujung Desember, saat dingin menelusup dengan leluasa ke dalam rumah. Pagiku berubah duka ketika Ibu yang biasanya membangunkanku dengan senyuman, pagi itu membangunkanku dengan sedu sedan. Ibu tak mampu bicara, hanya menangis dan menyebut-nyebut nama Ayah. Mata surganya tak bercahaya.

Aceh berduka, dunia pun sama. Tsunami yang datang pagi hari itu membawa Ayahku entah kemana. Sulit kugambarkan tentang ini. Ayah yang tengah bertugas di sana, rencananya seminggu lagi baru akan pulang ke rumah, hilang. Tak ditemukan keberadaannya. Tempat tugasnya, Meulaboh, adalah salah satu daerah terparah yang terkena tsunami. Ayah belum kembali lagi, hingga kini.

v   

Desember ke dua sejak kepergian Ayah. Ayahku belum pulang saja, tapi aku yakin beliau akan kembali, memeluk aku dan Ibu. Merencanakan kencan keluarga kami yang lebih seru. Kupandangi rumah pohonku yang tak berubah sejak Ayah pergi, kurawat setiap incinya, kujaga keberadaannya.


Kurapikan kembali kue-kue lapis buatan Ibu ke dalam kotak plastik berukuran sedang. Kue-kue lapis penyambung rezeki keluargaku, sejak Ayah pergi dan belum kembali. Ibuku adalah Ibu bermata surga yang darinya aku belajar banyak tentang kesabaran, ketekunan dan pantang menyerah.

Sejak duka Desember mendatangi kami, Ibu membuka usaha membuat kue dan aku membantu menjualnya juga di sekolah. Satu tahun terakhir ini usaha Ibu meningkat, Ibu pun menerima pesanan katering dalam jumlah yang lumayan. Rumahku pun ramai oleh pegawai-pegawai Ibu. Tuhan tak pernah meninggalkan kami.

v   


“ Bu, apakah Ayah menyukai kunang-kunang? Kenapa ya Ayah selalu bilang kalau aku menangis, maka aku tak bisa melihat kunang-kunang lagi, Bu? “, tanyaku sore ini, menemani Ibu minum teh.

Ibu menghela nafas, lalu tersenyum lembut padaku.

“Wit, kunang-kunang adalah binatang yang hebat, ia mengeluarkan cahayanya sendiri. Begitu pun Ayahmu, beliau hebat dengan segala cinta dan pengorbanannya untuk kita. Kamu masih yakin Ayahmu akan pulang, Wit? “

“Wit yakin, Bu.. , Ayah akan kembali ke rumah ini.. “ , mataku beraca-kaca.

“ Ayah akan pulang, selama cahaya harapan dan doa kita tak putus untuknya, Wit.., Berdoalah terus, harapanmu menguatkan Ibu, Nak.. “ .

v   

Cinta adalah cahaya. Cahaya menuntun kita ketika gelap dan hilang arah. Selayak doa dan harapan yang tak putus, seperti itulah benderangnya. Yang hilang, sebenarnya tak hilang. Mungkin Ayah sedang bepergian.



Ayah, segera pulang ya. Gadis kue lapis dan perempuan bermata surga selalu menunggumu, wahai lelaki berwajah matahari.



: * #Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.