Tampilkan postingan dengan label bahagia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahagia. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Desember 2014

Story of Happiness





“Selamat hari ibu wahai calon ibu dari anak-anakku.”

Ucapan yang membuat haru, tepat diucapkan suami pada saat hari ibu. Menjadi calon ibu dari seseorang yang kita cintai, rasanya begitu membahagiakan.

Kami adalah pasangan yang menikah pada Desember tahun 2013. Pada akhir Desember, surprise, saya positif hamil. Memang setelah menikah adalah masa subur saya. Pada saat yang bersamaan, saya didera kesibukan akhir tahun ajaran di sekolah, pun perjalanan pulang pergi, Bandung – Cimahi menggunakan motor, juga saat weekend terkadang ke Bekasi. Selain itu ada infeksi juga yang saya alami, sebenarnya dokter menyarankan untuk bedrest saja.

Bahagia itu ternyata belum untuk kami sepenuhnya. Saat USG, tidak terlihat ada kantung hamil. Dokter membesarkan hati saya, namun di saat yang sama, dia juga berpesan, jika beberapa hari ke depan saya haidh, mungkin belum rezekinya. Kami berbesar hati ketika perkataan dokter pun menjadi kenyataan. Saya mengalami abortus spontan dan blighted ovum, itu istilah medisnya. Tidak ada kantung hamil dan janin pun tidak berkembang. Merasa bersalah tentu saja, tidak menjaga amanah, namun suami menguatkan.

Bulan demi bulan, kami menunggu. Menunggu memang terkadang kurang menyenangkan ya, tapi suami selalu membesarkan hati dan mengingatkan untuk bersabar. Toh, kami pun baru saja menikah, jadi berdoa dan bersabar saja kuncinya, dengan tetap berusaha.

Ada perasaan haru ketika setelah selesai sholat, dan saat kebetulan kami tengah berjamaah, suami dengan khusyu berdoa. Saya tahu salah satu doanya adalah agar kami segera diberi keturunan. Lalu diam-diam saya peluk punggungnya dari belakang, betapa saya menyayanginya.

Sedih rasanya saat setiap bulan woman period itu datang. Kok, belum positif juga ya? Saya membangun motivasi lagi dan menuruti saran dokter untuk mengkonsumsi asam folat. Salah satu ikhtiar, dan juga lebih disiplin terhadap pola makan food combining yang saya jalani. Juli 2014 akhirnya saya memutuskan cuti mengajar pula, agar tidak terlalu kecapaian. Berharap ikhtiar ini membuahkan hasil.

Penghujung September 2104, bulan ke sembilan pernikahan kami. Saya merasa ada yang tak beres dengan kondisi badan saya. Sakit perut, ngga enak perut, sering buang air kecil, sering terbangun juga saat malam, padahal sejak menikah intensitas begadang saya sudah sangat jauh berkurang. Aneh juga, ketika nafsu makan saya meningkat. Saya pun tak menyadari kalau jadwal datang bulan saya terlambat.

Di hari ketiga saya terlambat haidh, akhirnya saya memutuskan meluncur ke apotek, membeli test pack. Saya mengatakan keanehan-keanehan ini pada suami, seperti biasa dia menyampaikan sugesti yang menenangkan. Banyak-banyak berdoa, katanya.

Pagi itu tanggal 1 Oktober 2014. Setelah niat yang kuat pada malam harinya, saya memberanikan diri untuk test pack. Rasanya deg-degan sampai untuk membuka kemasan test packnya saja saya gemetaran. Saya berdoa dalam hati, bismillah. Saya celupkan alat testnya, saya bertekad, mau berani melihat apapun yang terjadi. Sedikit demi sedikit cairannya naik, satu srip terlewati, dan hati saya terlonjak ketika cairannya tidak berhenti, lalu ada strip dua yang muncul. Jelas sekali. Selesai. Alhamdulillah. Rasanya bahagia sekali, bingung juga di saat yang bersamaan. Ingin peluk suami, tapi dia sedang prajab di luar kota. Salah tingkah jadinya.


Saat ini usia kehamilan saya memasuki minggu ke enam belas. Mohon doanya ya dari semua :)



Puisi pertama untuk yang kami cintai










*499 kata, tidak termasuk judul dan catatan kaki.

*"Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Hamil dan Melahirkan ala Bunda Salfa"

Senin, 08 Desember 2014

Memoar Sederhana

Bahkan dalam kabut pun, aku bisa melihatmu dengan jelas. Kamu nyata, bukan bayang-bayang. Yang menuntunku perlahan, menyertai mimpi dan bahagia. Tak ada lagi samar. (VAGUE)




Hadiah sketch darimu, waktu masih berteman :)


Mungkin, perjalanan kita hingga sampai ke titik ini tak pernah juga kamu bayangkan sebelumnya. Semesta selalu mempunyai rahasianya sendiri, dan diam-diam menuntun kita untuk saling bertemu. Semesta tak pernah mengajari kita untuk membohongi perasaan dan rindu yang juga diam-diam hadir tanpa kita sadari.

Lucu memang, awal perkenalan dan kisah-kisah yang menjadi kenangan di tahun-tahun ke belakang selalu berhasil memgundang senyum dan perasaan yang menghangat. Tertakdir untuk satu sama lain, itulah jawabannya.

Kamu masih ingat awal perkenalan kita yang sangat klise itu? Semua gara-gara foto Mahameru milikmu. Semua gara-gara kita adalah teman dari seorang 'teteh' pemilik kedai kopi di Bandung. Semua gara-gara acara bedah buku seorang traveler di kedai kopi itu. Iya, pertemuan pertama yang singkat. Selanjutnya kita hanya berteman. Berteman baik.  Kamu yang pertama berkunjung ke kotaku.

Kunjungan balasanku ke kotamu terjadi beberapa bulan setelahnya. Kamu begitu baik, menjemput, menjadi guide, mengantar, hingga aku mau pulang pun kamu masih datang ke tempat travel. Dan kamu masih ingat kan? Moment makan es krim di sore hari, itu lucu.

Satu hal yang aku tahu, kamu baik sekali.

Perjalanan pertama kita, adalah perjalanan yang tak disengaja. Hasil obrolan iseng. Perjalanan Dieng, Magelang, dan Yogya. Kita masih berteman saat itu. Banyak cerita dan kenangan yang tentu masih kita ingat dengan jelas. Hujan, suhu yang dingin (masih menyesal ya, membatalkan ngojek untuk naik ke puncak, nanti kita ke sana lagi ya), tidur saat nonton teater Dieng, berbincang dan bertemu dengan anak gimbal, nikmatnya jamur crispy, diberi tumpangan tidur oleh Bu Rina di Magelang, dan singgah di Yogyakarta. Satu hal lagi yang selalu kita debatkan, moment pagi di kereta Kahuripan, sampai sekarang kita pasti akan berdebat soal itu.

Cinta memang aneh. Terkadang, sesuatu yang berbeda yang kita rasakan di dalam hati itu kita abaikan. Mungkin kita tidak yakin atau mungkin cinta selalu menemukan jalannya sendiri. Jujur, kapan kamu mulai jatuh cinta padaku?

Bagiku, kamu tak pernah menjadi bayang-bayang. Tak pernah menawarkan ragu atau sesuatu yang samar. Kamu tak banyak berkata memang, tapi di dekatmu aku selalu merasa aman dan nyaman. Aku selalu merasa menjadi perempuan yang sangat spesial. 

Kamu mungkin lupa, moment ini. Tapi, moment ketika kita turun dari Rinjani dan beristirahat di basecamp Selong, selalu aku ingat. Kamu tidur terlebih dahulu, sedang aku masih mengepak dan berbincang dengan bumil yang ikut pendakian. Aku tidak bisa tidur, dan masih mencari lapak yang aman. Hampir subuh ketika itu, aku sudah tidur tapi sedikit terjaga karena kedinginan, dan kamu menyelimutiku dengan jaket kamu yang tebal. Kamu tahu, aku tersentuh sekali, kamu begitu baik dan menjagaku.

Di tahun yang sama, kamu berbincang dengan orang tuaku, bahwa kamu memang berniat serius. Bahwa hubungan kita memang niatnya untuk menikah. Aku tak pernah tahu begitu banyak hal yang kamu persiapkan. Yang aku tahu, kamu seorang yang sangat mandiri dan tidak merepotkan orang-orang di sekelilingmu. Seseorang yang menjamin bahwa bersamamu, hidup akan selalu baik-baik saja.

Seseorang yang benar-benar mencintaimu akan selalu memperjuangkanmu dan menjadikanmu prioritas dalam hidupnya. 

Menikah denganmu benar-benar membuat hidupku utuh. Aku yang sangat jauh dari sempurna ini, bahagia bersamamu. Aku heran ya, kamu tidak pernah marah dari awal kita bertemu sampai sekarang. Berbeda denganku yang meledak-ledak dan gampang ngambek. Kamu tidak.

Yang mencintaimu akan selalu berjanji membuatmu bahagia dan membuktikan kata-katanya. Kamu akan selalu menjadi orang yang selalu ia pikirkan. Sehatnya, sakitnya, sepanjang hidup. 

365 hari mungkin perjalanan yang baru sebentar. Masih akan ada hari-hari ke depan yang akan kita lalui. Mungkin nanti aku akan lebih merepotkanmu, aku minta maaf. Aku akan berusaha menjadi yang lebih baik untukmu, untuk kita, untuk seseorang yang sekarang ada dalam rahimku.

Terima kasih untuk selalu menjadi yang terbaik. Menjadi imam, sahabat, kakak, partner, dan menjadi apapun yang baik untukku. Semoga kita tetap menjadi teman perjalanan yang menyenangkan untuk satu sama lain. Happy anniversary, my husband... As you know, i love you more :*



are you remember this? :D


Mulai temenan 6 Desember 2011, Desember memang bulan yang istimewa buat kita , eh kamu loh yang add duluan :))



Duaar, hahaha :D



di KKMA tempat lama, with teh Uta, kita itu habis nonton apa ya hadeuuh lupa *cek tiket-tiket lama* :XD


kenangan :)


Love :)


Bersamamu, hidup akan selalu baik-baik saja :)


Kiriman bunga darinya di tanggal 8, kejutaaan, makasiih sayang :*



always be my travelmate :)



P.S : Je te aime :*




Jumat, 18 Oktober 2013

Perjalanan Pulang



Rindu kita pertama kali mungkin adalah hal yang paling tidak kita sadari. Betapa perasaan kita satu sama lain berbaur dengan sekat tipis bernama pesan-pesan singkat yang lalu lalang setiap hari. Mungkin kita terlalu bisu pada tatap mata yang tak pernah bertemu. Mungkin kita masih memungkiri hati dan mengharapkan bukan ini yang terjadi. Mei.

Waktu terbuang kita adalah kata-kata yang lebur pada udara dan lenyap di senyap hari yang berganti. Menunggu, menunggu pemiliknya menyadari ada sesuatu, ada rindu. Juni.

Bukan jawaban yang kita inginkan sebenarnya. Bukan itu. Hanya saja kita berdua sudah tidak bisa lagi membohongi diri kita sendiri. Ada rasa yang diam-diam sudah menempati hati kita masing-masing, mungkin, kita sedang saling jatuh cinta, diam-diam. Juli.

Sapamu pada setiap pagi serupa biru pada langit dan temaram pada saat gemintang. Rasa ini terlalu sederhana sebenarnya untuk kita ceritakan pada dunia. Tapi sudahlah, itu tak penting. Adamu, itu yang utama. Agustus.

Selanjutnya aku adalah manusia yang menanti-nanti hari saat jarak kita menjadi tiada. Absurd rasanya merasakan rindu tanpa bisa kau katakan. Sungguh kekanak-kanakan. Selanjutnya aku belajar bahwa ternyata rindu tak perlu selalu terkata. Kamu sudah tahu, aku merindukanmu. Cukup.

Kita adalah pejalan waktu yang tiada ingin berlama-lama memunggungi waktu. Kita berdua berusaha mengenggam apa yang menjadi mimpi dan harapan-harapan kita. Tersenyum pada doa, yang kuat-kuat kita hujamkan.

Pertengkaran pertama kita. Mungkin, sangat mungkin aku menyakitimu. Kamu berjalan berbalik arah tanpa berbicara sedikit pun. Itu sudah cukup membuatku ingin berteriak, "jangan pergi, tetap di sini!". Namun aku kelu. Perempuan sungguh selalu begitu. Dan pasti kamu berpikir, aku perlu waktu sendiri, kamu salah.

Senja berwarna namun bagiku semua hitam. Hanya ada hitam pada langit yang memerah perlahan. Aku enggan. Tak ada kabarmu, hidupku sakit.

Ketika dunia sedang tak memihak, apakah kamu merasakan kerinduan yang sama? Keheningan sesungguhnya sangat menyakitkan.





Terima kasih kenangan, pada setiap sisimu ada matanya yang tak lelah menatapku. Pagi hari seolah ruang, di mana aku bisa menemukan sosokmu pada setiap sudut rumahku. Pada setiap sudut kelopakku. Kita tak bisa saling menjauhkan hati kita. Kita adalah bahagia untuk satu sama lain, jadi tak ada alasan kita saling menyakiti.

 " Aku mencintaimu, wahai pemilik mata sendu, selalu.. "


Selasa, 08 Oktober 2013

Dear, Pagi


Hujan, selalu menghadirkan perasaan yang sulit aku definisikan. Semacam rindu, atau serupa cinta. Hujan tak mengenal basa-basi dan senyum yang dibuat-buat, seperti ketulusan. Tak memerlukan bahasa.

Dear, lelaki yang hadir pagi hari. Di sini langit menjatuhkan beribu gerimis. Sebanyak itu doaku untukmu. Jatuh cinta padamu membuatku mengerti, bahwa cinta bukan soal yang rumit. Semua menjadi mudah, semua menjadi berarah. 

Yang saling menemukan akan saling menguatkan. Dia yang menyayangimu tak pernah abai mendoakan, tanpa kau minta.



: Selamat musim penghujan, Tuan.

Minggu, 01 September 2013

Dialog Pagi Hari

Antologi pertama saya : Kejutan Sebelum Ramadhan buku #10, bersama cerpen dari penulis lain, diterbitkan melalui kompetisi via nulisbuku.com, ramadhan 2013, baca cerpennya di bawah, pemesanan via nulisbuku.com, royalti buku akan disumbangkan :)





Dialog Pagi Hari
Cappucinored




Fajar pagi ini datang bersama jutaan tetes embun yang sinarnya terpantul di sela dedaunan. Aku berjalan pelan di antara ribuan ilalang yang tingginya tak sama. Menyembunyikan tubuh mungilku yang kegirangan bertemu bunga-bunga liar berwarna putih. Pagi masih terlalu dini, masih terlalu dingin.

Ya, itu hanya mimpi. Nyatanya, aku masih nyaman berlindung di balik selimut. Menghentikan suara merdu Katy Perry dan fireworks-nya. Aku tidur lagi.

Hei, ini hari minggu, teman! Tak apa aku tidur lagi, biarkan saja. Seminggu ini aku sudah diperbudak pekerjaan, jadi sah-sah saja aku menikmati hari mingguku ini.

Aku berjalan ke atas bukit. Dari sana, aku bisa melihat lebih jelas. Air sungai beriak riang perlahan, bersama desau angin yang semilir. Dari kejauhan aku melihat sosokmu mendekat. Kamu. Aku terdiam. Kenapa selalu begitu? Aku tak bisa berlaku biasa-biasa saja ketika ada kamu. Kamu tersenyum dari kejauhan. Aku tergugu. Kamu tiba-tiba sudah ada di depanku. Beberapa kata sepertinya akan kamu ucapkan.

Aarrrghh... Katy Pery nyanyi lagi siih.... Oke!

Katy Pery ini mengganggu sekali, sedang enak-enaknya mimpi indah. Selimut masih belum disibak. Aku masih setengah sadar. Ini masih terlalu pagi. Mentari juga masih malu-malu. Kulihat jam weker di samping tempat tidur, jam setengah enam kurang lima menit. Minggu terakhir aku bisa bangun siang, besok sudah bulan puasa, harus bangun sahur. Artinya, ngga ada dulu jadwal bangun siang. Oke sip.

Aku baru akan memejamkan mata kembali, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kosku. Ini pasti bukan Katy Pery! Siapa...??? Ini masih pagi sekali. Aku salah dengar barangkali? Tidur lagi saja. Tapi kok masih ada yang mengetuk yah? Baiklaaaah, aku menyerah.

Kusibak juga selimut merahku, sedang mataku masih setengah terpejam. Langkah kakiku kompak dengan mataku. Aku berharap pendengaranku salah, bukan pintu kamarku yang diketuk.

Jarakku sudah dekat sekali dengan pintu. Hening. Ketukannya sudah berhenti. Perlahan aku memutar kunci dan kubuka pintu kamarku.

Sesosok tubuh tak tinggi tak juga pendek berdiri membelakangiku. Aku seperti mengenalinya. Aku sapa tamu pagiku itu.

“ Selamat pagi “.

Tamu pagiku itu membalikkan badannya.

“Selamat pagi juga, Laras “.

Fajar  terlalu cepat menyapa pagi ini. Embun pagi pun belum tuntas meneteskan sejuknya di dedaunan. Tanah pun masih basah, sisa hujan semalam. Kamu, terlalu cepat datang.

Aku hanya tersenyum kaku. Entah bagaimana rupaku saat itu. Bayangkan saja rupa orang yang baru bangun tidur. Terlalu jelas kekagetan dan kegugupanku. Oke. Aku kalah. Kenapa pula kamu terlalu manis tersenyum?

“ Sarapan bubur ayam yuk, di ujung gang itu “.

Beberapa menit lalu aku masih bermimpi tentang sosoknya yang membuatku mati gaya, catat, dalam mimpi. Lalu, kenapa dalam nyata pun demikian?

“ Mau ngga? Cepat dong, aku lapar nih “ , katamu.

Terima kasih atas kunjungan paginya. Aku terkejut.

Aku berganti pakaian seadanya. Jeans lusuh dan kaos oblong, tak ketinggalan sendal jepit merah. Sementara kamu, sudah siap dengan pakaian orang yang mau pergi ke kafe. Iya. Begitulah. Kita akan makan bubur ayam.

Embun pagi sudah akan pergi. Sinar mentari diam-diam datang menelusup ke sudut kamarku. Kamarku kosong. Aku ada denganmu.

“ Mau nambah lagi? “ , tanyamu.

Aku hanya menggeleng. Aku tak cukup punya nafsu makan pagi itu. Kedatanganmu terlalu mendadak. Dalam diam, aku berpikir dan mencoba mengira-ngira. Apa maksud kedatanganmu?

“ Kamu kenapa, sakit, dari tadi diam terus “

Kamu, tak pernah bisa aku mengerti. Aku luluh dengan kebaikanmu. Kamu tak pernah tahu itu. Selama ini kita tak kemana-mana. Aku tak pernah bisa menerka hatimu. Bersamamu, aku selalu menjadi lebih pendiam. Salah seharusnya aku biasa saja.

“ Aku mau ke Jepang, hari pertama bulan Ramadhan, pagi sekali.. “.

Fajar pagi mengantar kabar yang kelabu. Jarak yang dekat tak pernah bisa membuka hatimu. Kamu terlalu bias. Mungkinkah dengan bertambah jarak semua akan lebih jelas? Entahlah.

“ Hanya enam bulan saja, aku dapat bea siswa “ .

Lama percakapan kita menggantung di udara. Pikiranku entah menggembara ke mana. Bubur ayam yang belum habis menjadi korban kegamanganku, kuaduk-aduk tanpa kusikapi. Jepang? Jauh sekali...

“Ras, kamu orang pertama yang kukabari loh.., maaf ya mendadak, aku ingin mengatakan sesuatu yang lain sebenarnya.. “

Kata-katamu memecah keheningan kita. Hei, Apa itu? Aku membaca sesuatu yang tak biasa pada matamu.

“Bersediakah kamu menungguku? .............“

Pagi ini mungkin terlalu cepat datang, tapi aku buru-buru merevisi kekesalanku pada sang fajar. Ada rasa yang tertinggal di hari ini. Ada rasa yang kau titipkan pada hatiku. Iya. Aku mau menunggumu.



“Will you marry me....”

Photo : Cappucinored

Kamis, 29 Agustus 2013

Perjalanan


Pagi, hujan :)

Akhirnya aku mengerti sesuatu. Kamu, adalah rangkaian kata-kata yang tak pernah aku temui titiknya. Pertanda, padamu-lah akhir akan bermuara. Kamu, adalah sapa pertama yang menyapa bumi, saat aku terbangun dari lelap yang mengistirahatkan rinduku sejenak. Kamu, adalah gerimis satu-satu yang menyapaku di beranda rumah, kelak. Pada saat waktu membekukan kenangan yang meng-abadi.

Benar, kita tak pernah benar-benar tahu, mana yang lebih indah, pagi atau senja. Hanya, saat bersamamu, semua warna menjadi tak biasa. Saat perjalanan membungkus waktu yang entah mengapa selalu berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak pernah ada perjalanan yang benar-benar berakhir. Kita ada di perjalanan itu, tengah membuat kotak-kotak kenangan. Sedang akhir adalah kepastian, namun entah kapan. Usahakan saja tentang bahagia.

Pada saatnya nanti, genggaman tanganmu yang kan kutemukan setiap hari. Pada saatnya nanti, cinta adalah metamorfosis yang akan kita nikmati dalam cangkir-cangkir kopi setiap pagi. Pada saatnya nanti, bahasa kita adalah tentang saling menguatkan kehidupan. Masa lalumu bukanlah milikku. Aku berdiam di masa depanmu. Pada saatnya nanti.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Jendela Kaca





Pagi hari menyapa kesederhanaanku dalam jutaan tetes hujan. Harumnya membasuh tanah dan membentuk bulatan-bulatan air yang membentuk wajahmu. Seraut wajah sederhana, yang enggan hilang walau aku coba singkirkan.

Aku sedikit heran dengan diriku sendiri, bagaimana mungkin aku masih belum yakin akan adanya kamu, nyatanya dirimu. Mungkin kenangan-kenangan yang pekat membekas itu membuatku takut melihat benderang di matamu. Sungguh aku minta maaf atas ini. Aku belum cukup beranikah?

Mungkin aku adalah perempuan kebanyakan, selalu butuh berkali-kali untuk diyakinkan. dan selalu butuh ucapan.Waktumu di belakang sana membuatku takut, apakah ia akan tiba-tiba menghampirimu lagi? Waktuku di belakangku, aku sudah tutup rapat-rapat, Tak ada lagi kenangan, selain kenangan kita.

" Lalu, mengapa masih ragu? Aku tahu hatimu" ujarnya.

Kamu selalu tahu, iya. Tak ada satu alasan pun aku tak ingin bersamamu, sungguh. Beri aku waktu sedikit lagi. Itu saja. Namun, kataku lenyap disenyap malam, tak pernah mampu aku ucapkan. Semoga kamu mengerti. Tatap saja kedua mataku. Biar segala rasa dan semua bisa kau baca jelas. Tak tersisa. Aku tak mampu berkata.

Terima kasih telah memilihku, perempuan rapuh. Seperti kaca jendela yang bisa pecah kapan saja, hatiku. Mungkin waktu akan membuatnya menjadi kuat, karena ada-mu dan genggamanmu. Aku mau menjadi perempuan kuat itu.



                                                                                   ~




Waktu selalu menjadi jawaban atas setiap keraguan. Tepat dulu kita memutuskan memberi jarak pada ikatan kita. Jika memang kamu orangnya, maka rindu akan hadir dengan sendirinya. Jika memang kamu orangnya, maka waktu akan menunjukkan berita tentang kisah yang tertunda. 


Pada akhirnya, aku melihat dengan jelas tentang bayangmu yang hadir pagi ini. Mungkin kau tak lebih mengerti, bahwa rindu lebih cepat datang daripada daun-daun yang terserak terbawa angin.

Ada pesan yang ingin aku sampaikan langsung padamu. Sebentuk rindu dan jutaan ucapan terima kasih. Ingin aku katakan padamu, sekali lagi, kenanganku hanya tentang kenangan kita, tak ada tempat untuk sebentuk kisah masa lalu. Aku mungkin mencintaimu lebih dalam saat ini. Segeralah pulang. Aku ingin bertemu. Aku mau bersama dalam perjalananmu. Biar saja cerita kita menjadi sesuatu yang menghilang di hampa udara. Menjadi abadi. Selamanya. Aku mau.




Kamis, 08 Agustus 2013

Sebuah Kisah Untuk Agustus


Semua serba putih. Ujung kainku sama, setara dengan lantai yang dingin membeku. Hari ini tiba. Tak ada hujan dan gerimis tadi malam. Semua nampak baik, udara tak mencekik. Hatiku masih sama.

Jika saja kamu tak pernah bertanya dulu, mungkin aku masih tetap orang yang sama, yang selalu memikirkan warna pada senja. Duduk menunggu. Ketidakpastian.

: Jika 'iya' adalah jawabanku dan kita akan bahagia seperti katamu, bukankah sama saja? Bahagia akan habis pada waktunya. Kita manusia.

: Dan jika bahagia memang menghampiri kita, bukankah tetap akan ada luka jika waktu kita habis? Kita tak selamanya pada dunia. Kataku.

Lalu yang kutemukan hanya tatapanmu tanpa kata. Lalu yang kutahu kini adalah : kamu orangnya, yang akan memberi awal pun akhir dalam versi bahagiaku.

Pagi tanpa gerimis, setelah perjalanan tertempuh.

: Maukah kau menikah denganku?


Senin, 15 Juli 2013

Pertemuan




Aku menantimu di halte tak jauh dari taman tempat kita sering berlama-lama menghabiskan waktu pulang sekolah, dulu. Sesuai pesan singkatmu, aku harus tiba tepat waktu, pukul delapan pagi. Sementara pagi pukul delapan terus berlari bersama menit-menitnya, lalu para pejalan kaki nampak sibuk mengejar aktivitasnya masing-masing, tiada tanda-tanda kamu akan tiba.

" Pagi, Nona, , sudah tiba ya? Kamu nampak manis hari ini, aku di warung dekat halte ya, see you... " (Panji)

Ini kamu ada apa ya, tiba-tiba hobi main detektif-detektif begini. Tak biasanya. Aku dan dia berjarak, jarang sekali bertemu. Pertemuan bagi kami adalah hal yang mahal harganya. Lalu, setelah giliranku datang mengunjungi kotanya, ada surprise yang tak kusangka. Biasanya, dia datang menjemputku, tapi tidak kemarin, aku dijemput taksi, lalu menginap di tempat biasa memang, tapi ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Baik, aku merasa tertantang dan penasaran, apa sih mau dia kali ini.

Warung dekat halte yang dikatakan olehnya belumlah ramai pagi itu. Hanya ada dua orang bapak paruh baya yang tengah menikmati kopi hitamnya. Kamu dimana? Sungguh kesal rasanya. Aku memutuskan untuk diam dan baru akan memesan segelas teh, ketika ibu warung menyapaku ramah.

" Mbak Lily? ini tehnya, tadi mas yang baru saja pergi titip pesan, katanya teh ini untuk mbaknya, dan ini ada kertas titipan dari mas itu mbak..."

Aku hanya tersenyum dan menggangguk. Kamu, memang selalu ada-ada saja. Tapi kali ini, sungguh. Mungkin raut mukaku ini sudah mirip kepiting rebus, merah padam, tapi bukan karena malu, karena kesal. Iya.

Aroma teh dan kehangatannya meredakan kesalku. Secarik kertas yang sedikit lusuh kubuka perlahan.

" Selamat menikmati secangkir teh hangat, jangan cemberut, kamu nampak jelek :D Ada aku menunggumu, di ujung taman, can't wait to see you, Ly.. "  (Panji)

Tiba-tiba senyum tersungging di sudut bibirku. Kamu memang selalu penuh kejutan. Berharap, permainan ini akan segera menemukan akhir, kuhabiskan segera teh di hadapanku. Kamu di mana? Mengesalkan, kamu tak tahu rindu itu sudah ingin segera dikatakan?

Setengah berlari ku hirup berjuta udara ke dalam rongga alveolusku. Tali sepatu ketsku sepertinya copot, tapi aku sudah tak peduli. Aku bisa merasakan, kamu sudah dekat.

Taman yang sederhana, hanya ada bangku-bangku kayu yang dicat ulang. Matahari pukul setengah sembilan pagi masuk dengan leluasa di sela-sela rindang pepohonan. Sampai juga sinar hangatnya pada tanah yang ditingkahi daun-daun yang berguguran. Aku mencari sosokmu.

Pada salah satu bangku taman tersandar sepeda kumbang yang sangat klasik. Sepertinya aku pernah melihat sepeda ini, tapi di mana, aku sedikit lupa. Tak ada siapa-siapa, hanya ada suara desir angin membelai lembut ujung kerudungku. Kamu di mana sih? Kuperhatikan dengan seksama si sepeda kumbang, sambil mengingat-ingat.

" Lupa ya, itu sepeda abah.. "

Aku sontak membalikkan badan, dan dengan setengah berteriak kumaki orang yang baru saja muncul di depanku.

"Maaf ya, tapi suka kan dengan kejutannya? Sekali-kali tidak dijemput, tak diantar, tak diistimewakan, tak apa kan? Ternyata, kamu tetap sama, istimewa, buktinya mau datang, dan sabar mengikuti permainan isengku, hehe .. " 

Kubalas ucapannya dengan mataku yang membelalak kesal. Aku tahu dia paling takut dengan ini.






Cara kita merayakan pertemuan di sela jarak, mungkin beragam. Aku tak pernah ingat sudah berapa banyak kebaikanmu terasakan olehku, yang pasti aku selalu merasa paling istimewa di antara bermilyar penghuni dunia. Aku selalu dapat merasakan sorot matamu hanya tertuju padaku. Kamu romantis, dengan caramu sendiri, dan aku suka.

Kamu tak pernah menawarkan banyak kebahagiaan untukku, tapi kamu memberikan banyak udara bernama bahagia pada setiap detik hidupku. Bersamamu, bahagia menjadi ada dan nyata. Tak berupa bayang-bayang yang tak mampu kulihat dan kurasakan.

" Jadi, kita mau ke mana ini? cuma gini doang? Ngga seru banget..", ujarku.

" Nantangin, suka belagu sih, sini naik aku boncengin, kita ke rumah ketemu abah, beliau kangen calon menantu katanya... "

Terkadang, kata-kata memang bukan perantara yang tepat untuk mengungkapkan bahagia. Lengkung pelangi yang terlukis di wajah kita pun tak pernah cukup mampu menunjukkannya.

Derai tawa kita beterbangan ke udara lalu semesta menangkapnya, gerimis pagi hari di kotamu. Hati kita sesungguhnya tak pernah berjauhan. Ada bahagia yang saling merekatkan. Iya, kita bahagia.