Senin, 15 Juli 2013
Pertemuan
Aku menantimu di halte tak jauh dari taman tempat kita sering berlama-lama menghabiskan waktu pulang sekolah, dulu. Sesuai pesan singkatmu, aku harus tiba tepat waktu, pukul delapan pagi. Sementara pagi pukul delapan terus berlari bersama menit-menitnya, lalu para pejalan kaki nampak sibuk mengejar aktivitasnya masing-masing, tiada tanda-tanda kamu akan tiba.
" Pagi, Nona, , sudah tiba ya? Kamu nampak manis hari ini, aku di warung dekat halte ya, see you... " (Panji)
Ini kamu ada apa ya, tiba-tiba hobi main detektif-detektif begini. Tak biasanya. Aku dan dia berjarak, jarang sekali bertemu. Pertemuan bagi kami adalah hal yang mahal harganya. Lalu, setelah giliranku datang mengunjungi kotanya, ada surprise yang tak kusangka. Biasanya, dia datang menjemputku, tapi tidak kemarin, aku dijemput taksi, lalu menginap di tempat biasa memang, tapi ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Baik, aku merasa tertantang dan penasaran, apa sih mau dia kali ini.
Warung dekat halte yang dikatakan olehnya belumlah ramai pagi itu. Hanya ada dua orang bapak paruh baya yang tengah menikmati kopi hitamnya. Kamu dimana? Sungguh kesal rasanya. Aku memutuskan untuk diam dan baru akan memesan segelas teh, ketika ibu warung menyapaku ramah.
" Mbak Lily? ini tehnya, tadi mas yang baru saja pergi titip pesan, katanya teh ini untuk mbaknya, dan ini ada kertas titipan dari mas itu mbak..."
Aku hanya tersenyum dan menggangguk. Kamu, memang selalu ada-ada saja. Tapi kali ini, sungguh. Mungkin raut mukaku ini sudah mirip kepiting rebus, merah padam, tapi bukan karena malu, karena kesal. Iya.
Aroma teh dan kehangatannya meredakan kesalku. Secarik kertas yang sedikit lusuh kubuka perlahan.
" Selamat menikmati secangkir teh hangat, jangan cemberut, kamu nampak jelek :D Ada aku menunggumu, di ujung taman, can't wait to see you, Ly.. " (Panji)
Tiba-tiba senyum tersungging di sudut bibirku. Kamu memang selalu penuh kejutan. Berharap, permainan ini akan segera menemukan akhir, kuhabiskan segera teh di hadapanku. Kamu di mana? Mengesalkan, kamu tak tahu rindu itu sudah ingin segera dikatakan?
Setengah berlari ku hirup berjuta udara ke dalam rongga alveolusku. Tali sepatu ketsku sepertinya copot, tapi aku sudah tak peduli. Aku bisa merasakan, kamu sudah dekat.
Taman yang sederhana, hanya ada bangku-bangku kayu yang dicat ulang. Matahari pukul setengah sembilan pagi masuk dengan leluasa di sela-sela rindang pepohonan. Sampai juga sinar hangatnya pada tanah yang ditingkahi daun-daun yang berguguran. Aku mencari sosokmu.
Pada salah satu bangku taman tersandar sepeda kumbang yang sangat klasik. Sepertinya aku pernah melihat sepeda ini, tapi di mana, aku sedikit lupa. Tak ada siapa-siapa, hanya ada suara desir angin membelai lembut ujung kerudungku. Kamu di mana sih? Kuperhatikan dengan seksama si sepeda kumbang, sambil mengingat-ingat.
" Lupa ya, itu sepeda abah.. "
Aku sontak membalikkan badan, dan dengan setengah berteriak kumaki orang yang baru saja muncul di depanku.
"Maaf ya, tapi suka kan dengan kejutannya? Sekali-kali tidak dijemput, tak diantar, tak diistimewakan, tak apa kan? Ternyata, kamu tetap sama, istimewa, buktinya mau datang, dan sabar mengikuti permainan isengku, hehe .. "
Kubalas ucapannya dengan mataku yang membelalak kesal. Aku tahu dia paling takut dengan ini.
Cara kita merayakan pertemuan di sela jarak, mungkin beragam. Aku tak pernah ingat sudah berapa banyak kebaikanmu terasakan olehku, yang pasti aku selalu merasa paling istimewa di antara bermilyar penghuni dunia. Aku selalu dapat merasakan sorot matamu hanya tertuju padaku. Kamu romantis, dengan caramu sendiri, dan aku suka.
Kamu tak pernah menawarkan banyak kebahagiaan untukku, tapi kamu memberikan banyak udara bernama bahagia pada setiap detik hidupku. Bersamamu, bahagia menjadi ada dan nyata. Tak berupa bayang-bayang yang tak mampu kulihat dan kurasakan.
" Jadi, kita mau ke mana ini? cuma gini doang? Ngga seru banget..", ujarku.
" Nantangin, suka belagu sih, sini naik aku boncengin, kita ke rumah ketemu abah, beliau kangen calon menantu katanya... "
Terkadang, kata-kata memang bukan perantara yang tepat untuk mengungkapkan bahagia. Lengkung pelangi yang terlukis di wajah kita pun tak pernah cukup mampu menunjukkannya.
Derai tawa kita beterbangan ke udara lalu semesta menangkapnya, gerimis pagi hari di kotamu. Hati kita sesungguhnya tak pernah berjauhan. Ada bahagia yang saling merekatkan. Iya, kita bahagia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ehm, romantis ya,,
BalasHapuscuma sekedar cerita perjalanan gitu aja, tapi suka cara penyajiannya.
mbak windd,, bikin novel aja, heheh :D
wah wah...
BalasHapuskemampuan nulis cerita ala teh windri sangat luar biasa...
berkembang dan semakin cantik prosanya...
semakin manis emosinya dan semaki romantis sentuhannya...
pasti nyenengin yah bisa terinspirasi sampai melahirkan tulisan seperti ini...
aku baca juga beberapa yang lainnya...
bagus sekali ^__^
@Yunita, iya romantis kayak dia *lah... hehe.. novel ya, msh belajar bikin cerpen, novel nti blm bisa hehe.. doakan ya ^_^ mksh..
BalasHapus@Mba Wied.. waduuh maluu... mbak wied, lebih jago.. hehe.. selalu suka dg komen apresiasinya, mksh byk y mbak wied *peyuk* ^_^V
Kak windri...keren banget ni cerita, ceritanya sederhana namun pembaca ikut terbawa suasana hehe...
BalasHapusAku suka kak, romantis sekali..^^
alhamdulillah, mksh ya ud mau baca, hehehe.. ;)
BalasHapusBaru sempat mampir ke sini,krn khawatir khawatir menemukan cerita2 seperti ini..cerita sederhana yang mampu membuat hati meleleh.hehehe...
BalasHapuswah.. trims teh Elin sudah mau baca.. hehehe.. aduh jd g enak :D
BalasHapus