“Apa kau bilang? Sejak kapan perihal ‘jodoh’
dikatakan hal yang sepele?” Kuteguk kopi hitam yang sedari tadi kudiamkan
saja keberadaannya. Obrolan ini menurutku lebih menarik. Terutama sosok yang
sedang berada tepat di hadapanku.
“Bukannya hal-hal yang terlalu sering dibicarakan orang-orang berarti itu adalah hal-hal yang sepele, biasa saja, e-x-t-r-a-o-r-d-i-n-a-r-y”, ujarmu sambil menekan suaramu pada kata terakhir.
“Bukannya hal-hal yang terlalu sering dibicarakan orang-orang berarti itu adalah hal-hal yang sepele, biasa saja, e-x-t-r-a-o-r-d-i-n-a-r-y”, ujarmu sambil menekan suaramu pada kata terakhir.
Perempuan ini, pemikirannya selalu diluar jangkauanku, selalu membuatku kepayahan mengejar langkahnya. Bagiku, jodoh itu adalah sesuatu yang sakral. Jodoh dan menikah. Itu padanannya bukan? Mengapa menjadi hal yang sepele di matanya? Heran.
“Kamu kebanyakan
teori!” Pedas sekali ucapannya. Aku mendengus kesal.
Pandangan perempuan yang mempunyai nama depan sama denganku ini tertuju pada sesosok lelaki yang sambil lalu membuang puntung rokok.
“Kenapa kamu memandangi aku?” tanyaku heran.
“Jawab aku, terhadap lelaki tadi yang membuang puntung rokok sembarangan, apa yang akan kamu lakukan?”, tanyanya tiba-tiba.
Aku diam beberapa saat.
“Ah, kamu rumit! “ Perempuan itu berlalu dari hadapanku dan membuang puntung rokok itu ke tempat sampah.
Pandangan perempuan yang mempunyai nama depan sama denganku ini tertuju pada sesosok lelaki yang sambil lalu membuang puntung rokok.
“Kenapa kamu memandangi aku?” tanyaku heran.
“Jawab aku, terhadap lelaki tadi yang membuang puntung rokok sembarangan, apa yang akan kamu lakukan?”, tanyanya tiba-tiba.
Aku diam beberapa saat.
“Ah, kamu rumit! “ Perempuan itu berlalu dari hadapanku dan membuang puntung rokok itu ke tempat sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar