Di beranda rumah kita yang abu-abu
Udara begitu menggugu
Manusia-manusia berjalan kaku
Bunga-bunga tiada lagi berbau
Aku dan kamu
Sudah lupa harum tanah sesudah hujan
Sudah lupa bagaimana indahnya suara gerimis
Sudah lupa bagaimana gemericik air menetes di atap
rumah
Sudah lupa
Ah, ya
Pun soal matahari pagi dan petang
Kemanakah rupanya kini?
Jingga atau merah saga pun tak lagi menyapa
Mungkin ia pun sudah lupa caranya memberi warna
Setiap sore yang remang-remang itu
Cangkir-cangkir kopi tak lagi sama
Mata meredup
Seredup harapan soal warna-warni yang menghilang
Ke manakah pagi yang lalu
Saat embun menyapa daun-daun
Dingin membuat kita enggan beranjak
Saling memeluk dalam udara yang tersenyum
Awan di langit menyisih
Tak ingin terlibat lagi percakapan kita
Mungkin dia sudah bosan
Soal lalu-lalang angin dan topan
Yang tak tentu arah
Di sini,
Di rumah kita yang abu-abu
Musim-musim berjalan tanpa jeda
Entah semi, gugur, atau kemarau
Semua sesak hingga ke pelupuk mata
Kering
Aku tahu,
Kamu begitu merindu jejak-jejak bunga di pelataran
Langit biru yang melukis kita
Juga soal kabut yang turun perlahan diam-diam
Aku tahu,
Kamu pun rindu menyapa kunang-kunang
Atau sekedar berbincang dengan jangkrik-jangkrik di
sudut ruang
Atau sekedar bersandar pada cahaya rembulan
Di rumah kita yang abu-abu
Dulu,
Pernah kau hadiahi aku setangkai mawar
Merah, bukan kelabu
Indah
Di rumah kita yang abu-abu
Tiada lagi tanah basah sehabis hujan
Tak ada lagi bunga-bunga
Yang diciptakan cahaya matahari
Di rumah kita yang abu-abu
Kita,
Meringkuk saling memeluk
Merindu soal bumi
Merindu soal bunga-bunga yang bermekaran
Merindu soal banyak warna selain abu-abu
Kita sangat rindu
Di rumah kita yang abu-abu
Kini,
Hanya ada puisi sederhana di secarik kertas tanpa
warna
Untuk bumi yang tengah kelabu
Di rumah kita yang abu-abu
Tangan kita terentang
Kaki-kaki kecil kita melangkah
Mencipta dunia baru di beranda rumah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar