Fajar pagi ini datang bersama
jutaan tetes embun yang sinarnya terpantul di sela dedaunan. Aku berjalan pelan
di antara ribuan ilalang yang tingginya tak sama. Menyembunyikan tubuh mungilku
yang kegirangan bertemu bunga-bunga liar berwarna putih. Pagi masih terlalu
dini, masih terlalu dingin.
Ya,
itu hanya mimpi. Nyatanya, aku masih nyaman berlindung di balik selimut.
Menghentikan suara merdu Katy Perry dan fireworksnya.
Aku tidur lagi.
Hey,
ini hari minggu, teman! Tak apa aku tidur lagi, biarkan saja. Seminggu ini aku
sudah diperbudak pekerjaan, jadi sah-sah saja aku menikmati hari mingguku ini.
Aku berjalan ke atas bukit. Dari
sana, aku bisa melihat lebih jelas. Air sungai beriak riang perlahan, bersama
desau angin yang semilir. Dari kejauhan aku melihat sosokmu mendekat. Kamu. Aku
terdiam. Kenapa selalu begitu? Aku tak bisa berlaku biasa-biasa saja ketika ada
kamu. Kamu tersenyum dari kejauhan. Aku tergugu. Kamu tiba-tiba sudah ada di
depanku. Beberapa kata sepertinya akan kamu ucapkan.
Aarrrghh...
Katy Pery nyanyi lagi siih.... Oke!
Katy
Pery ini mengganggu sekali, sedang enak-enaknya mimpi indah. Selimut masih
belum disibak. Aku masih setengah sadar. Ini masih terlalu pagi. Mentari juga
masih malu-malu. Kulihat jam weker di samping tempat tidur, jam setengah enam
kurang lima menit.
Aku
baru akan memejamkan mata kembali, ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu
kamar kostku. Ini pasti bukan Katy Pery! Siapa...??? Ini masih pagi sekali. Aku
salah dengar barangkali? Tidur lagi saja. Tapi kok masih ada yang mengetuk yah?
Baiklaaaah...
Kusibak
juga selimut merahku, sedang mataku masih setengah terpejam. Langkah kakiku
kompak dengan mataku. Aku berharap pendengaranku salah, bukan pintu kamarku
yang diketuk.
Jarakku
sudah dekat sekali dengan pintu. Hening. Ketukannya sudah berhenti. Perlahan
aku memutar kunci dan kubuka pintu kamarku.
Sesosok
tubuh tak tinggi tak juga pendek berdiri membelakangiku. Aku seperti
mengenalinya. Aku sapa tamu pagiku itu.
“ Selamat pagi “.
Tamu
pagiku itu membalikkan badannya.
“Selamat pagi juga, Laras “.
Fajar terlalu cepat menyapa pagi ini. Embun pagi
pun belum tuntas meneteskan sejuknya di dedaunan. Tanah pun masih basah, sisa
hujan semalam. Kamu, terlalu cepat datang.
Aku
hanya tersenyum kaku. Entah bagaimana rupaku saat itu. Terlalu jelas kekagetan
dan kegugupanku. Oke. Aku kalah. Kenapa pula kamu terlalu manis tersenyum?
“ Sarapan bubur ayam yuk, di ujung
gang itu “.
Beberapa
menit lalu aku masih bermimpi tentang sosoknya yang membuatku mati gaya, catat,
dalam mimpi. Lalu, kenapa dalam nyata pun demikian?
“ Mau ngga? Cepat dong, aku lapar
nih “ , katamu.
Terima
kasih atas kunjungan paginya. Aku terkejut.
Aku
berganti pakaian seadanya. Jeans
lusuh dan kaos oblong, tak ketinggalan sendal jepit merah. Sementara kamu,
sudah siap dengan pakaian orang yang mau pergi ke kafe. Iya. Begitulah. Kita
akan makan bubur ayam.
Embun pagi sudah akan pergi. Sinar
mentari diam-diam datang menelusup ke sudut kamarku. Kamarku kosong. Aku ada
denganmu.
“ Mau nambah lagi? “ , tanyamu.
Aku
hanya menggeleng. Aku tak cukup punya nafsu makan pagi itu. Kedatanganmu
terlalu mendadak. Dalam diam, aku berpikir dan mencoba mengira-ngira. Apa
maksud kedatanganmu?
“ Kamu kenapa, sakit, dari tadi
diam terus “
Kamu,
tak pernah bisa aku mengerti. Aku luluh dengan kebaikanmu. Kamu tak pernah tahu
itu. Selama ini kita tak kemana-mana. Aku tak pernah bisa menerka hatimu.
“ Aku mau ke Jepang “.
Fajar
pagi mengantar kabar yang kelabu. Jarak yang dekat tak pernah bisa membuka
hatimu. Kamu terlalu bias. Mungkinkah dengan bertambah jarak semua akan lebih
jelas? Entahlah. Kamu berpamitan pagi itu. Kita berjalan pulang dalam diam.
“ Hanya enam bulan saja, aku dapat
bea siswa “ .
Fajar
pagi dan kedatanganmu. Selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar