Selasa, 09 Juli 2013

R I N J A N I (Bag.1)




Desa Sembalun sore  itu basah disapa hujan. Langkah-langkah kecilku berawal dari sini. Rinjani tak nampak sama sekali, tertutup awan tebal. Hai, mari kita berkenalan, kamu seberapa tinggi-kah? Sebenarnya dalam hati ada banyak keraguan untuk menyapamu, tapi kakiku sudah sampai di sini, menggangguk pada mimpi yang tiba-tiba mengajakku pergi, mendekatimu, Rinjani.


Sembalun


Yang menjajari langkahku tak banyak bicara. Aku hanya diam berdialog dengan hatiku sendiri. Sejujurnya aku gugup, perjalanan kali ini begitu berbeda. Rinjani sungguh menggetarkan hati.

Terdapatlah seorang ayah yang menyegajakan diri menyapamu. Oleh sebab nazarnya terhadap pertambahan usia putri cantiknya, yang bernama Rinjani. Jauh langkahnya dari Makasar, sungguh kuat hatinya. Tak kalah mencengangkan, seorang ibu yang tengah mengandung lima bulan, turut serta dalam perjalanan ini. Hebat. Kagum. Salut.

Malam akan menjelang, dan mulailah terasa carrier di pundakku meninggalkan rasa sakit. Hei, ini masih jauh dari puncak, Nona. Sungguh lelah, jujur saja. Berjalan terus itu bukan pilihan, tapi keharusan. Sedikit lagi, selalu itu yang ia ucapkan. Sejujurnya, seberapa lama "sedikit lagi" itu, hei? Hati kecilku protes, namun lagi-lagi kaki ini lebih mengambil peran, memerintah otak untuk tak egois.

Jeda pertama dalam perjalanan menapak Rinjani. Sudah lewat Desa Sembalun, sudah jauh dari pos satu, di mana ini? Sudah dekat menuju setapak Plawangan. Rumah kecilku hanya berisi empat perempuan minoritas di rombongan, satu tenda hangat untuk kami tempati. Perempuan-perempuan istimewa. Hanya kami berempat saja. Membesarkan hati.Perempuan-perempuan hebat dalam rombongan. Iya.


Ufuk pagi menuju Plawangan, foto miliknya : Fajar Ramadhan :)

Terbangun oleh suara-suara alam, lalu kebingungan terhadap keberadaan diri sendiri. Iya, di mana ini? Begitulah pagi itu terjadi. Tak lama kemudian pagi menjadi normal ketika aku mendengar 'tetangga sebelah' sedang sibuk melipat tenda. Pagi ini sungguh absurd. Butuh waktu untuk menyadari tempatku berpijak.

Matahari belumlah tinggi kala itu, kabut putih perlahan turun membelah perbukitan yang sungguh elok membingkai mata. Dia beruntung, di sapa ufuk pagi yang begitu cantik. Tepat ketika membuka mata. Sedikit iri.





Seperti mimpi rasanya. Ini di mana? Aku berjalan di antara kabut berwarna putih bersih. Sungguh rasanya ingin berlama-lama. Hati ini rasanya menjadi lebih bersemangat. Ini belum ada apa-apanya, tapi sudah begini indahnya.  Walau sebenarnya, tak berapa kemudian beban carrier itu terasa kembali. Oke, tak apa. :)

Mari terus melangkah, mimpi itu untuk dihadapi, untuk digenapi. (Bersambung)


Baca Versi santai perjalanan part 1 Rinjani-Lombok
part2 :D
part3 dan masih bersambung :D







3 komentar:

  1. viewnya cakep. jadi pengen ke sana :')

    BalasHapus
  2. cakep ya mbak... :)
    ke sana selain sama mas fajar, sama siapa aja mbak??

    BalasHapus
  3. Mbak Ila : iya mbak Rinjani memang sungguh indah, harus ke sini :)
    Mbak Yunita : cantik banget, ini masih area bawah, blm ke atas :D ke sana selain sm dia sm rombongan 43 orgn jd seruu banget :))

    BalasHapus