Dear, perempuanku..
Kukabari, aku tengah berada di tengah lautan, memandangi
gemintang dan langit yang bersih. Kamu tahu, ada riak dan debar di hatiku, jika
mengingatmu. Namun aku hanya bisa diam saja, kita terpaut jarak.
Jarak, sebenarnya aku tak mempermasalahkan soal jarak, ada
hal yang jauh lebih menyesakkan daripada sekedar itu. Senyummu. Aku akan sangat
sulit menemukan senyummu lagi.
Semoga kamu tengah tersenyum dalam tidurmu, tak terganggu
penat dan kesedihan masa lalu. Masa lalu yang tak ada aku di situ, saat kita
belum saling tahu. Semoga dingin tak menyapamu malam ini, cukup aku saja,
bersama lara yang menyeruak perlahan, linier dengan kerinduan padamu, yang tak
pernah sampai.
Aku tak bisa memejamkan mataku barang sejenak. Pikiranku
penuh tentangmu, tentang kita. Kita yang tak bisa berkisah bahagia hingga kini.
Kukabari kau secepatnya, jika aku sudah tiba di tempat
tujuan. Segera kukabari, aku janji. Berharap kau menanti-nanti kabar dariku,
selayak kekasih yang merindukan belahan jiwanya. Hanya khayalanku saja. Sedari
tadi entah sudah berapa kali kupandangi layar telepon genggamku, namun ia diam
saja, tak ada bunyi, tak ada pesan atau panggilan darimu.
Semoga kamu tak sedang menangis. Katamu, menangis itu
melegakan. Kamu tak pernah tahu, apa efek tangisanmu untukku, aku merasa sangat
bodoh tak bisa membuat perasaanmu lebih baik saat kau menangis. Tahukah kamu?
v
Aku mengenalmu saat kau sedang tertawa lepas. Kubidikkan
lensaku padamu. Di antara kerumunan itu, bagiku, kamu paling bersinar. Berambut
pendek dan memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah bata. Tertawa lepas seolah
tak pernah ada beban dalam hidupmu.
Aku mengabadikan tawamu berkali-kali. Lalu kamu terkejut
sembari tersenyum malu saat aku menghampirimu dan kerumunanmu. Memperkenalkan
diri dan menunjukkan hasil bidikanku. Aku beri judul, “Perempuan yang Selalu Bahagia”.
Matamu membulat indah, kamu tersipu malu. Perempuan cantik bermata
indah, bersinar seperti kunang-kunang.
“ Hah, kok Kamu tahu aku menyukai kunang-kunang? Kamu peramal ya? “, candanya ketika kukatakan matanya bersinar seperti kunang-kunang.
“ Hah, kok Kamu tahu aku menyukai kunang-kunang? Kamu peramal ya? “, candanya ketika kukatakan matanya bersinar seperti kunang-kunang.
Rayna. Namamu Rayna. Hanya lima huruf itu saja, tanpa
embel-embel setelahnya.
“Aku Bumi, hanya Bumi”, sembari kujabat tanganmu erat, seketika itu perasaanku menghangat. Jika boleh, aku ingin saat itu waktu berhenti berputar, agar aku bisa terus menggenggam tangannya. Konyol sekali.
Malam setelah kita berkenalan, aku merasakan kembali apa yang orang-orang sebut, jatuh cinta. Perasaan yang meluap-luap bahagia, entah karena alasan apa. Aku seperti melihat segalanya, saat melihatmu. Ada perasaan teduh dan nyaman. Ini sepertinya kurang masuk akal. Begitulah. Aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang matanya bersinar seperti kunang-kunang.
“Aku Bumi, hanya Bumi”, sembari kujabat tanganmu erat, seketika itu perasaanku menghangat. Jika boleh, aku ingin saat itu waktu berhenti berputar, agar aku bisa terus menggenggam tangannya. Konyol sekali.
Malam setelah kita berkenalan, aku merasakan kembali apa yang orang-orang sebut, jatuh cinta. Perasaan yang meluap-luap bahagia, entah karena alasan apa. Aku seperti melihat segalanya, saat melihatmu. Ada perasaan teduh dan nyaman. Ini sepertinya kurang masuk akal. Begitulah. Aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang matanya bersinar seperti kunang-kunang.
v
Sore kesekian setelah beberapa bulan kita berkenalan. Aku
duduk berhadapan dengannya yang tengah memandang ke luar jendela. Matanya
menerawang jauh, tak berada di tempatnya berpijak sekarang. Sedang aku, hanya
menatapnya, berharap ia segera sadar, ada aku yang tengah memandanginya.
Perempuanku selalu asyik dengan dunianya sendiri. Aku belum bisa menemuimu di
duniamu ternyata.
Aku selalu merasa, perempuanku adalah sosok yang rapuh,
sekuat apapun ia terlihat di permukaan. Ada sesuatu dalam binarnya yang kadang
meredup.
Tiba-tiba ia menatapku lekat.
“ Tuan Bumi, apakah
kamu pernah cemburu pada seseorang?” , ujarnya
sambil menakupkan tangan pada dagunya yang lancip.
Aku terdiam beberapa saat. Entah jawaban macam apa yang
harus aku katakan padanya. Perempuanku
masih lekat menatapku, sepertinya pertanyaannya harus kuberi jawab.
“Pernah, sering
malah...”. Aku memberinya jawaban yang jujur.
“Wah..., bagaimana rasanya? Cemburu sama siapa? Kamu mengada-ada ya? “, candanya.
“Wah..., bagaimana rasanya? Cemburu sama siapa? Kamu mengada-ada ya? “, candanya.
Aku tertawa. Perempuanku ini kalau sudah bertanya,
pertanyaannya borongan. Kupandangi wajahnya, kujawab dalam hati. Aku pernah
cemburu, sering malah. Cemburu padamu, perempuanku. Saat kau tak menyadari
“adanya” aku di dekatmu. Saat kau tak pernah mengerti, bahwa aku yang nyata
untukmu. Bukan dia, yang entah siapa, yang selalu mengalihanmu, membawamu ke
duniamu, dan aku tak pernah dapat mengikutimu. Udaramu entah berwarna apa, aku
tak pernah bisa melihatnya.
Bagaimana rasanya cemburu? Rasanya tidak enak, aku merasa diabaikan olehmu, perempuanku. Saat kita hanya melewatkankan waktu berdua, aku merasa ada orang lain, dan aku hanya menjadi bayang-bayang. Jawabanku tenggelam di riuh hujan senja kala itu. Kamu, kembali tenggelam di ujung jendela, memandang keluar, seolah aku tak ada. Aku, tersenyum dalam diam.
Bagaimana rasanya cemburu? Rasanya tidak enak, aku merasa diabaikan olehmu, perempuanku. Saat kita hanya melewatkankan waktu berdua, aku merasa ada orang lain, dan aku hanya menjadi bayang-bayang. Jawabanku tenggelam di riuh hujan senja kala itu. Kamu, kembali tenggelam di ujung jendela, memandang keluar, seolah aku tak ada. Aku, tersenyum dalam diam.
v
Mungkin jika ada orang lain dalam kamar ini, Ia akan
melempariku dengan benda apa saja, hanya agar aku berhenti mondar-mandir.
Duduk, lalu berdiri. Kamu menghilang.
Tak berkabar sedari kemarin. Awalnya aku tak terlalu khawatir, kamu
biasa begitu, tapi tak pernah lebih dari lima jam, kamu akan memberiku kabar.
Ini tak biasa.
Lewat pukul sepuluh malam dan telepon genggammu masih belum
bisa dihubungi. Hujan makin deras di luar, udara semakin menggigit, dingin
sekali. Aku tak ingin membayangkan hal-hal buruk. Perempuanku baik-baik saja,
mungkin ia sedang ingin menyendiri.
Aku memicingkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sinar
lampu. Ah, rupanya aku masih di kamar, tertidur. Pukul tiga dini hari. Ada
pesan masuk. Segera aku menegakkan badan, jantungku berdebar.
“Aku sakit, aku sakit, Tuan Bumi..., aku ingin berjumpa dengannya, aku rindu.. , “
Aku meluncur cepat menemuinya. Jalanan basah setelah hujan menyapa dalam derasnya. Meninggalkan genangan di sana-sini. Perempuanku, bertahanlah. Jangan kalah.
Aku tak pernah mendengar luncuran cerita dari mulutmu, tapi
aku tahu, mata kunang-kunangmu terkadang berhenti bersinar. Entah untuk sebab
apa. Aku hanya ingin kau memberitahuku di waktu yang tepat, aku tak ingin
memaksamu bercerita.
Perempuanku meringkuk di dalam selimut. Matanya sembab, hidungnya
kemerahan. Segelas cokelat panas kuberikan padanya. Ia menggeleng. Isaknya
tiba-tiba terdengar. Aku memeluknya, erat. Kubiarkan perempuanku terlelap,
kugenggam tangannya erat.
Jika aku mampu, aku mau menghapus kesedihannya, menghapus jejak kenangan yang tak indah dalam hidupnya. Hanya jika aku mampu. Perempuan yang pernah aku beri label “selalu bahagia” ini sebenarnya rindu akan kebahagiaannya.
“Aku sakit Tuan
Bumi..., tak usah pedulikan aku...” .
Aku bermalam di rumahnya, tak tega kutinggalkan perempuanku yang sedang sakit. Sakit akan kenangannya.
Aku bermalam di rumahnya, tak tega kutinggalkan perempuanku yang sedang sakit. Sakit akan kenangannya.
v
Hujan semalam adalah berarti kenangan yang menyergap sejuta
kesakitan bagi perempuanku. Hujan adalah serupa kehilangan baginya. Tak pernah
lagi perempuanku mencintai hujan.
“ Aku kehilangan,
dan tak mampu mencintai lagi, aku tak pantas dicintai.. , aku tak mampu
meninggalkan kenanganku.., aku merindukannya, aku merindukannya yang selalu
mengajakku melihat kunang-kunang “ .
“ Jangan menangis
terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi.
Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu* mungkin dia sedang menunggumu,
membawakanmu kunang-kunang..” , aku
berceracau menghiburnya. Hatiku sesungguhnya menangis.
Perempuanku kecewa. Ia yang dirindukannya tak pernah datang
lagi. Perempuanku menyediakan “rumah”, namun penghuninya tak pulang tepat
waktu. Entah kapan akan mengunjunginya lagi.
Aku tahu, tak akan pernah bisa memenangkan hatinya. Peempuanku hidup bersama kenangannya. Kenangan yang tak ada aku di dalamnya. Tak akan pernah ada. Oleh karenanya, aku pergi.
“ Cintamu tak akan pernah mampu membuatkanku kenangan baru, Tuan Bumi. Aku memilih tinggal selamanya di sini, di kenanganku. Doakan saja, semoga aku mampu hidup kembali.. “. Kata-katanya di pertemuan terakhir kami, sebelum aku pergi.
Aku tahu, tak akan pernah bisa memenangkan hatinya. Peempuanku hidup bersama kenangannya. Kenangan yang tak ada aku di dalamnya. Tak akan pernah ada. Oleh karenanya, aku pergi.
“ Cintamu tak akan pernah mampu membuatkanku kenangan baru, Tuan Bumi. Aku memilih tinggal selamanya di sini, di kenanganku. Doakan saja, semoga aku mampu hidup kembali.. “. Kata-katanya di pertemuan terakhir kami, sebelum aku pergi.
v
Dear, perempuanku...
Setiap orang mempunyai kenangan. Setiap orang mempunyai
bagian dalam hidupnya yang ingin dia simpan rapat-rapat, hanya untuk diingat,
atau belum bisa dilupakan, atau justru ingin dibuang atau bahkan dilupakan. Aku
menghargai pilihanmu untuk tetap tinggal. Jangan Kau tanya sesakit apa rasanya,
melihatmu tenggelam dan berjalan sendirian. Aku sakit.
Berdamailah dengan kenangan, wahai perempuanku. Biar saja
kenanganmu itu hilang bersama hampa udara. Jangan meredup, aku ingin melihatmu
bersinar seperti kunang-kunang.
v
Aku sudah tiba, namun entah mengapa aku ingin pulang, menemuimu. Mencoba kembali, membawamu pergi dari kenanganmu.
*#Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar