Rabu, 10 September 2014

Memoire





Sore di luar tak disapa gerimis yang kita suka. Aku perlahan menjerang air panas, membuat kopi yang harumnya akan menguar hingga ke luar jendela. Aku lupa, kapan terakhir kali aku membuatkan kopi untukmu. Tiga sendok kopi hitam, satu sendok gula. Itu takaranmu.

Aku pun lupa, kapan terakhir aku menitipkan jemariku di saku jaketmu. Berlindung dari dingin malam kota ini yang menusuk. Memelukmu dari belakang dan menempelkan pipiku di bahu kananmu. Tersenyum manis melalui kaca spion sepeda motor tuamu. Lalu kamu akan menyempatkan untuk membelai tanganku.

Aku sudah lupa, kapan kita menghabiskan waktu berjalan-jalan di kota ini. Menghitung daun-daun yang jatuh perlahan. Menguning dan tenggelam dalam pelukan tanah yang basah oleh hujan. Aku sudah lupa.

Aku sudah lupa bagaimana mengingat rindu. Menghitung hari-hari, pagi, senja, dan berapa banyak bintang yang tak lagi dapat kita hitung bersama.

Aku sudah tak bisa lagi bertanya padamu, mengapa jarak begitu jahat mengambil kebersamaan kita? Aku sudah tak bisa lagi memelukmu kapan pun aku mau. Aku sudah tak mampu lagi, bercakap-cakap menatap senyum mataharimu.


***


"Untuk berapa lama lagi, aku belum bisa bilang dan memastikan. Pasti kamu sedang membaca dan lalu menangis ya, novelmu kan melow semua..."  suaramu meledek seperti biasa.

"Iya, ini parah banget deh endingnya ko gini banget ya, pasti bentar lagi novelnya diadaptasi jadi film deh... " tebakku.

"Bukannya kamu suka ending yang sedih gitu, akhir kan ngga selalu bahagia, katamu.. "

***

Ini tahun kesekian bunga-bunga mawar di samping rumah memberikan warnanya. Aku belajar bersabar menghadapi bunga-bunga dan tanaman-tanaman itu darimu. Aku selalu gagal, tapi kamu begitu telaten, aku malu.

Ini tahun kesekian aku berjalan sendiri menyusuri jalanan yang tiada genggamanmu. Merapatkan ingatan soal keseharian kita yang begitu aku rindukan.

Ini tahun kesekian aku merayakan hari bahagia kita, sendirian.

Ini tahun kesekian, aku tanpamu.

***

Pagi yang basah di bulan Desember. Jejak kaki yang tertinggal di jalanan-jalanan yang biasa kita lewati.

Aku berjalan untuk sekedar mengingat, berapa banyak wajahmu masih terekam di hatiku.

***





P.S : Selamat membaca, kamu. Ini cerpen mini hadiah untuk tanggal 8 kita. Ketika aku melihat suami almh. uwa, aku tergetar, begitu jelas kesedihan dan kehilangan beliau. Begitulah pasangan hidup, bagimana rasanya ditinggalkan, pasti rasanya begitu sulit.

Aku, ingin lama-lama bersamamu, ingatkan ya kalau aku salah, maaf selalu merepotkanmu dan membebanimu dengan pikiran-pikiran tentangku yang rumit. Aku mencintaimu sayang, selalu dan selamanya :)


4 komentar:

  1. Romantis sekali :')

    oh, ya, saya punya template gratis buatan saya sendiri. Barangkali mau diterapkan di blognya :) Sila berkunjung http://www.wulansari.net/2014/11/simple-template-blog-paris.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah mau mampir, oia.. mksh yaa mbak Wulan ;)

      Hapus
  2. Cukup mengharukan dan membuat hati merasa tergugah membacanya :)

    Visit me again.

    BalasHapus
  3. thanks Fikri... sudah mau membaca ya :)

    BalasHapus