Hujan, dari balik kaca jendela bus, di pertigaan Dieng |
Hujan selepas Dieng
Hujan kali ini terasa berbeda. Ada rasa
enggan meninggalkan tempat ini. Jalanan basah, seperti kaca jendela yang tengah
kutatap. Bening. Berkabut di luar sana. Beberapa orang masih nampak menyelamatkan
diri dari hujan yang menderas. Kusapu lembut tetesan air hujan yang menempel di
kaca jendela, lalu kulukis namaku dari tetesannya, juga lukisan-lukisan lain
yang entah apa. Tanganku basah. Seperti hatiku.
Rasa dingin masih tersisa. Nyata. Sapaan
bisu di pelupuk mataku, tentang kearifan lokal tak mungkin terlupakan. Dieng,
dan banyak kisah di dalamnya. Selalu ada cerita dalam setiap perjalanan. Selalu
ada yang tersisa pada setiap perjalanan. Kenangan. Abadi dan selamanya.
Senja makin menua saat bus yang
kutumpangi melaju perlahan dari pertigaan jalanan utama kawasan Dieng. Teman
perjalananku duduk diam, entah memikirkan apa. Apa mungkin dia sama denganku,
masih ingin berlama-lama di sini?
Aku masih saja memandangi pemandangan di
luar jendela, ketika tanpa disadari, rasa kantuk yang sangat begitu saja menyerang.
Mungkin ini efek dari semalaman yang tiada bertemu nyenyak ketika tidur.
Kabarnya, semalam cuaca hampir mencapai kisaran nol derajat. Kabarnya.
Tadi malam itu waktu seperti berputar-putar
dihitungan jam yang sama. Lama sekali. Dingin sekali. Jarum jam seolah tak beranjak
dari tempatnya, mematung.
Aku terbangun oleh guncangan bus yang
seolah-olah mengayun tubuhku. Sedikit lama untuk mengumpulkan nyawa. Masih
belum tahu bus ini tengah berada di mana. Setahuku, kami harus turun di
terminal bus Wonosobo, di mana kami akan berganti bus menuju Yogya.
Kernet bus memberikan semacam notifikasi
bahwa kami harus turun di sini.
“
Habis, di sini saja”, katanya singkat.
Bingung.
Jadi, kami seolah-olah diperintahkan
untuk : “sudah ya, sampai di sini saja, bye!”
Baiklah, enggan untuk berargumen, kami
pun turun. Aku. Masih dengan rasa kantuk yang tersisa.
Kami berjalan kaki menembus keramaian
perempatan yang terbentang di depan mata. Aku masih saja berceloteh di dalam
hati. Lebih tepatnya, sedikit khawatir tentang keberadaan kami sekarang ini.
Teman perjalananku tenang-tenang saja air mukanya. Baiklah. Lelaki selalu
memenangkan logika rupanya. Aku, terlarut perasaan khawatir berlebihan.
Kami lalu menepi di tepi jalan yang ramai
oleh orang yang tengah berteduh dari hujan. Hujan menjadi akrab sekali dengan
kami selama perjalanan kali ini. Seorang bapak memberiku tempat duduk, sungguh
baik hati. Udara di sekitarku masih sama. Dingin.
Setelah bertanya dan menimbang segala
kemungkinan, akhirnya kami memutuskan untuk naik bus yang tujuan akhirnya
menuju Magelang , karena ternyata tak bus
yang langsung menuju Yogya dari tempat kita diturunkan tadi. Ya, tak apa, santai, masih di Jawa ini, kalau
kemalaman, lihat nanti. Padahal, sedikit ketar ketir sih sebenarnya:D
Pertemuan
tanpa sengaja
Tak lama kami sudah berpindah tempat ke
dalam bus yang penuh sesak, bus ekonomi, yang menurut kabar itu adalah bus
terakhir. Pantas sesak, tapi bersyukur
kami masih dapat tempat duduk.
Sangat khas Indonesia. Segera saja
berbagai aroma hinggap di ujung hidungku. Kepulan asap rokok berbagai merk
menyerbu pernafasanku. Teman perjalananku yang baik hati segera meminjamkan
syalnya. Ia tahu, aku tak suka asap rokok.
Bus belum beranjak juga setelah kurang
lebih dua puluh menit. Panas segera saja menyergap. Maaf saja, urusan ngetem ini menjadi salah satu masalah
yang selalu berhasil membuatku hilang mood.
Jujur, sangatlah rugi waktu dua puluh menit. Mungkin ini sedikit berlebihan,
tapi benar. Lalu kemudian pada saat
acara ngetem ini menjadi tiga puluh menit pun, bus masih saja diam di tempat.
Baik. Sabar lebih baik, atau mungkin lebih tepatnya pasrah.
Saat lampu-lampu jalanan berpendar indah di tengah temaram, bis melaju perlahan.
Seulas senyum, akhirnya. Desir angin meniup perlahan, nyaris tak terdengar, tenggelam
dalam alunan suara pengamen yang lebih dominan.
“ Kita kemalaman ngga ? “ , tanyaku
was-was.
Teman perjalananku tersenyum. Semoga
tidak, katanya.
Hujan masih setia menemani perjalanan
menuju Magelang yang terasa lambat ini. Rasa kantuk tak juga membuatku ingin
memejamkan mata, entah kenapa. Padahal aku nyaman duduk di sebelah teman
perjalananku, aku aman. Iya, aman, di dalam bus ekonomi yang penuh sesak ini :D
Kupandangi gelap di luar sana, basah.
Setia berteman dengan dingin. Teman perjalananku sepertinya tengah berbincang
dengan penumpang di sebelahnya, seorang ibu. Aku melihat sekilas, lalu tersenyum
padanya. Namun obrolan mereka tak terlalu jelas, bus ini cukup bising. Aku
hanya sempat berkenalan saja.
“Sebentar lagi kita
turun” , ujarnya.
Aku terhenyak. Bukannya
kita menuju Magelang ya? Bukannya masih lama? Heran.
“ Eh, kenapa turun sekarang?
“, tanyaku polos.
Ternyata, ibu baik hati
yang tengah berbincang dengannya tadi menuturkan, bahwa kami harus turun di
Secang, tepatnya di Terminal Secang, karena kalau sampai di Terminal Magelang
pun sudah terlalu malam, dan dipastikan tidak ada bus menuju Yogya. Kulirik jam
di telepon genggamku, kurang lebih pukul 20.00.
Kalau pun di Terminal
Secang tak ada bus, kami bisa menyetop bus tujuan Yogya di pinggir jalan, kecil
kemungkinannya, tapi alternatif ini sangat dianjurkan untuk dicoba.
Di perempatan Secang,
kami turun. Kami bertiga, aku, dia dan Bu Ratna, kenalan baru kami di bus
barusan. Ternyata beliau pun turun di tempat yang sama, rumahnya masih cukup
jauh dari Secang, di daerah Kali Bening, harus diteruskan menggunakan ojeg.
Kami menyebrang sambil
sedikit berlarian, menerobos hujan yang tak lagi gerimis. Lalu lintas di Secang
tak terlalu ramai.
“ Sebentar ya, ibu mau
beli roti bakar dulu, untuk anak ibu di rumah ”, ujar Bu Ratna, menghentikan
langkah kami sejenak.
Sejenak lalu aku merasa
lapar, namun rasa lapar itu sudah menguap, tapi tidak nampaknya bagi dia. Teman
perjalananku memesan roti bakar juga. Sambil sesekali berbincang dengan Bu
Ratna, aku memandangi tempat ini. Hujan, lampu dan kendaraan-kendaraan yang
lalu lalang. Aku merekamnya.
Aku dan Bu Ratna menyeberang
duluan. Tanganku digenggamnya erat-erat. Terasa hangat. Ah, jadi teringat ibu
di rumah. Aku tersenyum dalam hujan.
“ Jadinya bagaimana? naik
apa? sudah malam ini...”, pertanyaan beruntun bernada khawatir dari Bu Ratna.
Lalu aku menjelaskan
rencana kami, segala kemungkinannya pula. Tanganku masih digenggamnya, hangat
sekali. Walau baru aku kenal sepintas lalu, namun dari mata, bicara dan
genggaman tangannya, beliau terlihat sangat nyata mengkhawatirkan kami.
Teringat anaknya, katanya. Aku diam. Haru.
“ Sudah, jika
kemalaman, menginap saja ya di rumah ibu, ini nomer handphone ibu, atau sekarang saja langsung ke rumah ibu....”,
ajaknya. Aku pun melempar senyum.
Semua masih jelas
terekam. Raut wajahnya yang khawatir, genggamannya yang hangat sampai di
hatiku, serta ketulusannya. Mengingatkanku padamu, ibu.
Bu Ratna berpamitan pada kami yang
sangat berterima kasih atas tawaran menginap di rumahnya. Nomor ponselnya sudah
aku simpan.
“Kalau
tidak dapat bis, hubungi ibu, minta antar sama tukang ojeg sampai di rumah ibu,
pasti sampai, sudah malam ini...”
Roti bakar, hujan yang masih menderas
dan pelataran toko retail. Kami duduk sambil memandangi lalu lalang kendaraan
yang masih ramai. Iya, kami memutuskan untuk mencoba dulu, berharap masih
bertemu bus jurusan Yogya yang melintas dan mau mengangkut kami berdua.
Waktu berjalan cepat, hampir tiga puluh
menit. Kami berdua mungkin sedikit apa ya namanya, entah, sulit terlukiskan.
Sepertinya, tawaran Bu Ratna tadi cukup logis, di tempat ini, dengan informasi
yang nol, tanpa teman dan kerabat, kami mau menginap di mana?
Berjalan dalam hujan dan sedikit
menertawakan diri sendiri. Secang dan Magelang ini tidak ada dalam rute
perjalanan kami, mengapa jadi begini?
Kami melintasi Terminal Secang yang diam dalam malam, tak menyisakan
apapun dalam ruangnya. Kembali ke
pangkalan ojeg, menghubungi Bu Ratna, dan dalam hitungan menit, kami sudah
duduk manis di atas motor menembus malam kota Secang menuju Kali Bening,
kediaman Bu Ratna. Semua terjadi begitu cepat, begitu saja, tanpa terduga.
Hujan sudah reda saat kami tiba di kali
Bening. Teh hangat menyambut kami yang kedinginan malam itu, juga keramahan Bu
Ratna. Bahagia itu adalah ketika mendapat sesuatu yang tak pernah terbayangkan,
yaitu keluarga baru, di tengah perjalanan. Semakin teringat ibu di rumah. Bu
Ratna mengajakku untuk tidur di kamarnya. Berbincang sejenak sebelum tidur, ya,
seperti di rumah saja :)
Hadiah
pagi yang sempurna
Gugusan pegunungan Slamet nampak gagah terlihat
dari tempatku berpijak, bersama awan putih yang berdiam anggun mengelilinginya.
Sisa-sisa hujan semalam masih enggan pergi. Membius tanah dengan harumnya yang
khas. Tetesan embun membias indah di sela dedaunan, kabut tipis samar berbisik pelan tentang keindahan yang
sederhana. Pagi di sini sungguh mengagumkan.
Kami melangkah perlahan sepanjang Kali
Bening. Udara seolah tersenyum lebar pagi itu. Semesta indah di pelupuk mata.
Dari arah yang berlawanan, kami melihat
sekawanan bebek berjalan cepat teratur, sungguh lucu. Gemericik air yang bening
dan hijau dedaunan menyegarkan pandang. Hadiah pagi yang sempurna.
Sungguh benar, keindahan memang tak
pernah cukup tergambar dengan kata-kata. Biar mata merekam lebih dalam dan hati
yang abadi menyimpannya.
Kesempurnaan pagi di Kali Bening
tergenapkan dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil yang tengah mandi di
sungai. Iya, mereka mandi. Tersenyum malu-malu ketika kusapa. Muka mereka
berseri-seri diterpa mentari pagi. Nampak bahagia.
“Jadi teringat masa kecil”, gumam teman
perjalananku.
Kaki kami berhenti di sebuah warung
kecil di tepi sungai. Gorengan yang masih hangat, teh manis yang hangat pula,
obrolan pagi, dan keindahan alam. Tempat yang tak pernah sedikitpun terpikirkan
sebelumnya akan kami singgahi. Kejutan dalam sebuah perjalanan :)
Puzzle
perjalanan
Perjalanan selalu mengajarkan banyak
hal. Tentang keberanian, penerimaan pun ketulusan. Berani melangkah lebih jauh
dari biasanya, menerima setiap hal yang kita temui dan membuka hati lebar-lebar
agar lebih peka merasakan sisi humanis manusia, bernama ketulusan.
Pada perjalanan, akan kita temui banyak
rupa manusia, dengan segala sisi kehidupannya. Perjalanan itu seperti sebuah
foto, serupa gambar yang menceritakan banyak hal, tanpa berbicara. Hanya hati,
yang bisa merasakan makna perjalanan. Perjalanan hati. Menyimpan rapi sebentuk
kenangan.
Dan perjalanan kali ini memberiku sebuah
pertemuan dengan seorang ibu yang begitu
penyayang, yang tulus membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk kami, dua orang
asing yang tak sengaja ditemuinya di dalam bus kota. Kami, yang tak pernah
dikenal oleh Bu Ratna sebelumnya. Kami, yang keesokan harinya hingga hari-hari
berikutnya masih selalu ditanyakan kabar olehnya. Ibu, yang sudah kuanggap
ibuku sendiri. Kebaikannya bukan buatan.
Memaknai perjalanan adalah belajar
memandang sesuatu secara sederhana. Melepaskan segala harap berlebihan, agar
tak ada ego dan kesombongan. Orang-orang yang kita temui, teman-teman
perjalanan dengan segala keunikannya, benda-benda mati di sekeliling, waktu
yang tak tepat rencana, alam dan semesta. Itu.
Perjalanan. Bukan pada indahnya saja
tentang apa yang akan kita lihat, bukan pada seberapa banyak kesenangan kita
hisap, bukan pada beratus-ratus foto yang bisa kita abadikan. Ini bukan hanya
tentang itu.
Ini tentang seberapa sederhana
menghabiskan pagi, tanpa hiruk pikuk. Ini tentang seberapa sederhana diri
menyapa manusia baru. Ini tentang seberapa sederhana kita, memotret manusia.
Aktivitas, kehidupan dan denyut yang mungkin bukan pemandangan yang biasa kita
lihat sehari-hari. Memotret kehidupan yang jika pada kehidupan biasanya, lupa
kita hayati. Ini tentang sederhana. Ini tentang kita dan dunia.
Episode petang di Secang, tak lekang
hingga kini. Ada niat yang masih kusimpan rapat-rapat. Akan ku sapa kembali
pagi hari di sana, akan ku genggam lagi tangan Bu Ratna erat-erat, dan akan kusempurnakan
perjalananku menuju ke sana, Kali Bening, Magelang.
Terima kasih, Bu Ratna, untuk ketulusan
yang tak terperi. Terima kasih perjalanan, yang selalu memberi banyak lembar
kenangan. Terima kasih, kamu, teman perjalanan, untuk selalu ada di setiap
jejak waktuku.
kyaaaaaaa... tulisannya indah mbak..
BalasHapustersusun rapi, tersampaikan, romantis pula..
mbak windri,, semoga segera jadi bukunya..
ditunggu. ^^
terus berkarya mbak... :)
alhamdulillah ada yg suka :)
BalasHapusini kisah nyata mbak, beneran, dan tulisan ini sebenarnya diikutkan pada sebuah audisi, hanya tidak lolos, ya sudah tulis saja dblog, nabung tulisan, aamiin, maaf y lama, tak mudah ternyata, tp i.A ini sdg diusahakan, mksh doanya ^__^V
oohh,, suka. iya keliatah kok mbak wind kalo ini cerita beneran. hehe :D
Hapus