Kubersihkan
wajahku dengan perlahan. Malam di Bali sama seperti malam-malam sebelumnya.
Udara di sini tak bisa dikatakan sejuk, namun penuh dengan aura yang tak pernah
bisa aku jelaskan. Di sini segalanya terasa hidup, terus bergerak.
Tarianku
cukup sukses seperti biasa. Tamu-tamu bermata biru itu berdecak kagum dan tak
henti-henti membidikkan lensa kameranya ke arah kami, para penari pendet. Di
antara mata-mata asing tadi, tak sengaja mataku bertemu dengan mata yang
sungguh tak asing bagiku. Mata hitam kecoklatan miliknya. Aku masih ragu
sebenarnya. Namun, mengingat sorot teduhnya, rasanya aku tak mungkin salah.
Pemilik mata itu hanya dia.
Kutatap
bayangan wajahku di cermin. Wajahku sudah polos tanpa riasan. Sedikit kantung
mata terlukis di sana. Tanpa sadar kuhela napas lebih dalam. Jika benar itu
mata miliknya, bagaimana mungkin dia yang jaraknya ribuan kilometer dari The
Bay Bali ada di sini malam ini?
“Luh.., mau bareng tidak? Lekas ya, aku tunggu di parkiran” Kadek lagi-lagi menawarkan boncengannya.
Aku mengiyakan tawarannya dengan anggukan. Lalu tanpa kuminta, pemilik mata teduh itu melintas lagi di pikiranku. Mungkin aku hanya lelah saja, mungkin hanya dugaanku saja.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk di belakang Kadek, menembus malam jalanan Nusa Dua Bali
yang tak pernah benar-benar sepi.
***
Pagi
yang dingin dan sepaket embun menyapaku. Kenangan masa kecil pun turut serta
datang tanpa diminta. Masa kecilku yang indah bersama sang pemilik mata teduh
itu. Kenangan yang belum selesai.
Di
tebing itu aku melihat sosok kecilnya. Ia memunggungiku, nampak asyik dengan
apa yang sedang dikerjakannya. Sementara aku, tak sengaja sampai di sini,
mengejar kupu-kupu indah bersayap kuning merah.
Seketika
aku melupakan kupu-kupu bersayap kuning merah itu. Apa yang tengah kau goreskan
di kanvas, menarik perhatianku. Hati kecilku menyuruhku duduk diam. Tanpa
suara, aku duduk di belakangmu. Hanya debur ombak saja yang menjadi latar, kamu
tak tak menyadari kedatanganku.
Aku
terkaget-kaget saat kau tiba-tiba membalikkan badanmu. Aku sontak berdiri dan
berniat pergi. Namun, semesta rupanya tak mengijinkan pertemuan kita hanya
sampai di situ.
Bumi,
teman baruku. Matanya kecoklatan. Aku menyukainya.
Hari-hari
berikutnya, dalam dunia masa kecilku, sepertinya hanya kamu yang mewarnainya.
Dua bulan saja, karena ayahmu hanya bertugas dua bulan saja di Bali.
“Ayahku
sedang meneliti sesuatu, entah apa, katanya suasana di sini enak untuk
menyelesaikan risetnya” Ujarmu ketika kita tengah menikmati makan siang di atas
rumah pohon, di kawasan Pirates Bay Bali.
Aku
tersenyum, sedikit kecewa sebenarnya. Hanya dua bulan saja? Itu waktu yang
sebentar. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis. Membayangkan perpisahan yang
belum akan terjadi.
“Eh, ko diam, habiskan makananmu, aku akan mengajakmu berpetualang ala bajak lalu!” Ajakmu antusias.
“Eh, ko diam, habiskan makananmu, aku akan mengajakmu berpetualang ala bajak lalu!” Ajakmu antusias.
“Benarkah?
“ Aku tertarik dengan ajakanmu, dan serta merta bayangan perpisahan itu
menghilang untuk sementara.
***
Pagiku
kembali menyeruak. Gerimis kecil-kecil jatuh seketika. Sejam lagi aku harus
latihan menari rutin. Tak jauh dari rumah memang, namun jika gerimisnya
bertambah deras, aku akan meminta ijin datang terlambat.
Apa
kabar kamu, sang pemilik mata teduh? Benarkah matamu yang kulihat semalam saat
pertunjukan? Hatiku kebas. Sejujurnya, aku berharap penglihatan dan perasaanku
tak salah. Semoga benar itu matamu, Bumi.
Terkadang,
harapan tak sejalan dengan kenyataan. Tak kutemui sang pemilik mata teduh itu
malam ini. Hingga waktu beranjak larut pun, tak ada jejak matanya di antara
penonton yang datang. Dengan perasaan yang masih kecewa, kukemasi
barang-barangku. Tak kutolak ajakan Kadek untuk selalu mengantarku pulang. Iya,
aku tak pernah punya alasan menolak kebaikannya. Aku tahu, lelaki pendiam ini
menaruh hati padaku, sejak dulu.
***
“Kapan
kau kembali, Bumi?” Tanyaku sambil menahan tangis. Hari terakhirku menikmati
pasir halus tepi pantai The Bay Bali. Sore itu Bumi mengajakku jalan-jalan di
sana. Kami pun sempat membuat istana pasir dan tulisan-tulisan nama kami
berdua. Masa kecil yang indah, yang setiap detailnya masih kuingat dengan
jelas.
Bahagia
memang selalu beriringan dengan kesedihan. Mungkin, inilah cara Tuhan mengajari
manusia agar selalu bersyukur dan tak lupa diri.
Saat
matahari hampir tenggelam dan langit berwarna kemerahan, teman masa kecilku
berpamitan. Senja yang indah, namun hatiku tak sejingga langit saat itu.
Perpisahan dengan Bumi, teman terbaikku. Dua bulan terlalu singkat rasanya.
“Percayalah,
Luh, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi, di sini. Kita akan bertemu
di tempat indah ini, kamu harus percaya itu ya!” Matanya yang teduh menatap
lekat mataku. Senja masih merah. Aku mengangguk, mempercayai kata-katanya. Iya,
kita pasti akan bertemu lagi.
***
Kususuri
pantai yang tak terlalu ramai sore itu. Kunikmati butiran-butiran pasir yang
menyentuh kakiku. Aku berjalan perlahan. Kutatap langit yang keemasan. Sebentar
lagi senja akan tiba.
Orang-orang
menikmati senja dengan caranya masing-masing. Aku tersenyum pada sepasang
kekasih yang duduk bersisian menatap ke arah pantai. Kakiku terus berjalan.
Seketika mataku berhenti pada sesosok anak kecil yang tengah asyik dengan
kanvasnya. Lukisannya sudah jadi, hanya perlu finishing saja. Ketika jarakku sudah sangat dekat dengan anak kecil
itu, aku terdiam.
Kupu-kupu
berwarna kuning merah yang cantik. Pemandangan di hadapanku ini membuat segala
rekaman masa kecilku berputar-putar. Dejavu.
“Siapa
namamu?” Aku kembali menginjak bumi ketika mendengar suara anak kecil itu
menanyakan namaku. Kuberi senyuman matahariku.
“Aku
Luh, lukisanmu indah sekali, siapa namamu?”
“Namanya
Bayu” Suara bariton tiba-tiba muncul di antara kami. Punggungku terasa tegang,
seperti tersengat aliran listrik. Aku mengenali suara itu, nada bicaranya.
Senja
masih memayungi kami, saat kuberanikan diri menghadap pemilik suara bariton
tadi. Aku terkesima. Senja sebentar lagi berpamitan.
“Apa
kabar, Luh? “ Matanya masih tetap sama, teduh seperti dulu. Aku masih diam dan
hanya memandangi sosok masa kecil di hadapanku.
“Ayah
kenal tante ini?” Aku hanya melempar pandangan bertanya pada Bumi. Ah, rupanya
sahabat masa kecilku ini sudah mempunyai keluarga. Bahagia sekali nampaknya,
apalagi bakat melukis Bumi mengalir deras pada Bayu, anaknya.
Bumi
menggendong pelukis cilik itu dengan penuh kasih sayang. Senyum matahariku
kembali. Walau jujur, ada sedikit ruang luka yang tercipta, saat kutahu, Bumi
sudah mempunyai keluarga.
“Anakmu
lucu sekali, hei, mana istrimu?” Aku bertanya sambil tersenyum tulus.
Bahagia
itu tak mengenal egois bukan? Jika orang yang kau sayangi bahagia, tak kurang
satu apapun dalam hidupnya, selayaknya kita pun bahagia. Aku tak ingin menjadi
orang yang egois. Bumi sepertinya bahagia. Aku turut bahagia untuk hidupnya.
“Luh,
kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu apa kabar?” Bumi tak menjawab
pertanyaanku
“Seperti
yang kulihat, aku baik dan sehat” Jawabku singkat.
Bumi
menatapku lama. Ah, mata itu tetap sama. Aku menunduk, tak kuasa menatap
matanya. Kualihkan pandang ke arah pantai. Senja berganti malam, lampu-lampu
sudah dinyalakan.
“Luh,
ini anak angkatku, anak asuhku. Aku belum mempunyai istri”. Aku tersentak.
***
Hidup
selalu memberimu kejutan bukan? Jika kau mempercayai keajaiban-keajaiban dalam
hidup, tetaplah mempercayainya. Biarkan semesta menuntun bahagiamu. Jangan ragu
akan hal itu. Bahagia itu tak pernah jauh-jauh letaknya, ia dekat, di hatimu.
“Aku
menepati janji masa kecilku, aku datang untukmu. Bahagia itu kamu, Luh..”
Jemari
kita bertautan erat. Jangan pernah meragukan dirimu sendiri. Jangan pernah buat
hatimu tak mempercayai soal nyatanya kebahagiaan. Sesungguhnya bahagia itu ada,
percayalah.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar