Sabtu, 29 Maret 2014
Menyerpih Rindu Yang Berserakan di Jalanan Sehabis Hujan
Mungkinkah ini yang dinamakan takut kehilangan? Tangan mungilku tak mampu menjangkaumu yang sedang terentang oleh jarak. Aku tak tahu apa yang sedang kau kerjakan, kau sedang menghabiskan makan siangmu dengan siapa.
Trotoar sepanjang jalan menuju rumah basah. Sesekali terdengar umpatan pejalan kaki, ketika kendaraan yang sedang melintas meninggalkan jejak berupa cipratan air genangan hujan. Seorang anak melangkah tergesa sambil sesekali memutar-mutar payung yang melindungi tubuhnya.
Lagi-lagi aku pulang lebih sore dari biasanya. Pekerjaan sedang menumpuk, namun baguslah, setidaknya kesibukan mengalihkan perhatianku dari sekedar mengkhawatirkanmu. Khawatir bahwa kamu melupakan aku, walau itu cuma sesaat. Aku selalu ingin menjadi orang nomor satu yang kau ingat. Ralat, aku ingin menjadi orang yang nomor tiga saja, yang nomor satu tentu saja Tuhan, yang kedua, ibumu.
Rasanya aku sedikit kesal saja, jika perhatianmu berkurang walau sedikit. Sebut aku berlebihan, tak apa.
"Kamu terlalu posesif itu namanya" Ujarnya, saat itu kami sedang berjalan-jalan di kotanya. Pertemuan kami kesekian kalinya di antara jarak yang tercipta.
Tangannya mengenggam jemariku. Lalu diam melebur segala keresahanku. Aku begitu mencintai lelaki di sebelahku ini. Mungkin itu yang membuat aku berlebihan, terlalu merasa memiliki.
"Kamu tak usah khawatir begitu, kita akan baik-baik saja, percayalah" Ia berusaha meyakinkanku, membuatku tenang.
Jika saja aku mampu, ingin kuhentikan waktu saat dia ada nyata di hadapanku. Kubekukan detik agar tak berubah menjadi menit. Kemudian kumasukkan berlapis-lapis rindu yang terlukis di matanya yang tajam. Kusimpan, kuabadikan.
Apakah mencintai itu harus seperti ini? Merasai rindu yang terkadang menyesakkan dada? Apakah benar ini cinta. Realitasnya, aku bahagia bersamanya. Mungkin rindu terlalu cepat datang. Iya, rindu selalu mempermainkan aku hingga selarut ini.
-Sore, kamu sudah di rumahkan? miss you, so bad-
Kupandangi layar handphone cukup lama. Inginnya kukirim langsung pesan pendek itu segera saat itu juga. Namun, aku ingin belajar menahan diri, menahan rinduku. Menahan segala rasa yang berserakan. Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku hanya sedang merindukanmu saja.
Rabu, 12 Maret 2014
Alzheimer
![]() |
Sketsa karya Onty @I_am_BOA |
"Bolehkah aku menyuapimu seperti biasa?".
Lelaki itu datang lagi. Ia
mengenakan jaket flanel berwarna cokelat. Datang di saat aku tengah menikmati
pagi di balkon rumah sakit.
Adegan ini sepertinya sudah pernah aku alami sebelumnya. Aku mengingat dengan keras, namun gagal. Aku hanya mampu memandangnya dengan senyuman. Aku tak ingat apa-apa.
“Sepertinya
kita tak saling kenal, dan saya bukan anak-anak, tidak perlu disuapi... “
Lelaki berflanel cokelat itu hanya
tersenyum dan memberiku kotak bekal berwarna biru muda.
“ Ini salah satu makanan kesukaanmu, ..” Ia berlalu setelah matanya menatapku dalam. Cukup lama.
Itu adalah pertemuanku dengannya hampir dua bulan lalu. Setelahnya, aku masih berusaha mengingat-ingat tentang siapa dia. Semakin aku mencoba mengingat, sakit kepalaku ini semakin menjadi. Aku menyerah.
Lelaki itu datang lagi, tadi malam, di mimpiku. Ia menatapku lama, lalu mengatakan bahwa aku dan dirinya berteman.
Siapa dia? Di mimpi itu mengapa
aku seolah-olah tak asing dengan matanya?
Bolehkah aku meminjam matanya? Agar aku bisa menemukan siapa
aku di masa lalu.
Sekilas tentang 'Alzheimer'
Rabu, 05 Maret 2014
Serendipity April
Jalanan belakang kantorku adalah jalanan favorit yang
selalu ingin aku lalui selepas jam kerja. Pohon-pohon besar di kiri – kanan jalan, bangku-bangku berwarna putih pucat,
dan beberapa pasang muda-mudi yang membunuh waktu dengan kebersamaan.
Sinar matahari sore itu nampak sempurna membentuk
bayangannya. Dia yang berjalan tak jauh dari hadapanku. Bermafela abu-abu muda,
serasi dengan busana kantor yang ia kenakan. Dia yang namanya belum aku
ketahui.
Sebut aku pengecut atau pecundang. Sudah empat kali sore berulang di penghujung bulan April ini. Kulewati jalanan yang sama, hanya agar dapat kutemui bayangan orang yang sama. Bayangannya.
“Indah......”. Aku kaget mendengar suaraku sendiri.
Perempuan itu menoleh, wajahnya terukir senyum, dua lesung pipit menghias sempurna, pun tahi lalat kecil diujung kiri bibirnya yang tipis. Dunia berhenti berputar.
* #FF161Kata Kru BFG kali ini temanya "tahi lalat" dan FF ini adalah FF duet bersama Widi, FF yang saya buat ceritanya dilanjutkan oleh Widi. Ini linknya sila baca " Sahara April "
Sabtu, 01 Maret 2014
Perempuan yang Tinggal Bersama Kenangan
Dear, perempuanku..
Kukabari, aku tengah berada di tengah lautan, memandangi
gemintang dan langit yang bersih. Kamu tahu, ada riak dan debar di hatiku, jika
mengingatmu. Namun aku hanya bisa diam saja, kita terpaut jarak.
Jarak, sebenarnya aku tak mempermasalahkan soal jarak, ada
hal yang jauh lebih menyesakkan daripada sekedar itu. Senyummu. Aku akan sangat
sulit menemukan senyummu lagi.
Semoga kamu tengah tersenyum dalam tidurmu, tak terganggu
penat dan kesedihan masa lalu. Masa lalu yang tak ada aku di situ, saat kita
belum saling tahu. Semoga dingin tak menyapamu malam ini, cukup aku saja,
bersama lara yang menyeruak perlahan, linier dengan kerinduan padamu, yang tak
pernah sampai.
Aku tak bisa memejamkan mataku barang sejenak. Pikiranku
penuh tentangmu, tentang kita. Kita yang tak bisa berkisah bahagia hingga kini.
Kukabari kau secepatnya, jika aku sudah tiba di tempat
tujuan. Segera kukabari, aku janji. Berharap kau menanti-nanti kabar dariku,
selayak kekasih yang merindukan belahan jiwanya. Hanya khayalanku saja. Sedari
tadi entah sudah berapa kali kupandangi layar telepon genggamku, namun ia diam
saja, tak ada bunyi, tak ada pesan atau panggilan darimu.
Semoga kamu tak sedang menangis. Katamu, menangis itu
melegakan. Kamu tak pernah tahu, apa efek tangisanmu untukku, aku merasa sangat
bodoh tak bisa membuat perasaanmu lebih baik saat kau menangis. Tahukah kamu?
v
Aku mengenalmu saat kau sedang tertawa lepas. Kubidikkan
lensaku padamu. Di antara kerumunan itu, bagiku, kamu paling bersinar. Berambut
pendek dan memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah bata. Tertawa lepas seolah
tak pernah ada beban dalam hidupmu.
Aku mengabadikan tawamu berkali-kali. Lalu kamu terkejut
sembari tersenyum malu saat aku menghampirimu dan kerumunanmu. Memperkenalkan
diri dan menunjukkan hasil bidikanku. Aku beri judul, “Perempuan yang Selalu Bahagia”.
Matamu membulat indah, kamu tersipu malu. Perempuan cantik bermata
indah, bersinar seperti kunang-kunang.
“ Hah, kok Kamu tahu aku menyukai kunang-kunang? Kamu peramal ya? “, candanya ketika kukatakan matanya bersinar seperti kunang-kunang.
“ Hah, kok Kamu tahu aku menyukai kunang-kunang? Kamu peramal ya? “, candanya ketika kukatakan matanya bersinar seperti kunang-kunang.
Rayna. Namamu Rayna. Hanya lima huruf itu saja, tanpa
embel-embel setelahnya.
“Aku Bumi, hanya Bumi”, sembari kujabat tanganmu erat, seketika itu perasaanku menghangat. Jika boleh, aku ingin saat itu waktu berhenti berputar, agar aku bisa terus menggenggam tangannya. Konyol sekali.
Malam setelah kita berkenalan, aku merasakan kembali apa yang orang-orang sebut, jatuh cinta. Perasaan yang meluap-luap bahagia, entah karena alasan apa. Aku seperti melihat segalanya, saat melihatmu. Ada perasaan teduh dan nyaman. Ini sepertinya kurang masuk akal. Begitulah. Aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang matanya bersinar seperti kunang-kunang.
“Aku Bumi, hanya Bumi”, sembari kujabat tanganmu erat, seketika itu perasaanku menghangat. Jika boleh, aku ingin saat itu waktu berhenti berputar, agar aku bisa terus menggenggam tangannya. Konyol sekali.
Malam setelah kita berkenalan, aku merasakan kembali apa yang orang-orang sebut, jatuh cinta. Perasaan yang meluap-luap bahagia, entah karena alasan apa. Aku seperti melihat segalanya, saat melihatmu. Ada perasaan teduh dan nyaman. Ini sepertinya kurang masuk akal. Begitulah. Aku jatuh cinta pada seorang perempuan yang matanya bersinar seperti kunang-kunang.
v
Sore kesekian setelah beberapa bulan kita berkenalan. Aku
duduk berhadapan dengannya yang tengah memandang ke luar jendela. Matanya
menerawang jauh, tak berada di tempatnya berpijak sekarang. Sedang aku, hanya
menatapnya, berharap ia segera sadar, ada aku yang tengah memandanginya.
Perempuanku selalu asyik dengan dunianya sendiri. Aku belum bisa menemuimu di
duniamu ternyata.
Aku selalu merasa, perempuanku adalah sosok yang rapuh,
sekuat apapun ia terlihat di permukaan. Ada sesuatu dalam binarnya yang kadang
meredup.
Tiba-tiba ia menatapku lekat.
“ Tuan Bumi, apakah
kamu pernah cemburu pada seseorang?” , ujarnya
sambil menakupkan tangan pada dagunya yang lancip.
Aku terdiam beberapa saat. Entah jawaban macam apa yang
harus aku katakan padanya. Perempuanku
masih lekat menatapku, sepertinya pertanyaannya harus kuberi jawab.
“Pernah, sering
malah...”. Aku memberinya jawaban yang jujur.
“Wah..., bagaimana rasanya? Cemburu sama siapa? Kamu mengada-ada ya? “, candanya.
“Wah..., bagaimana rasanya? Cemburu sama siapa? Kamu mengada-ada ya? “, candanya.
Aku tertawa. Perempuanku ini kalau sudah bertanya,
pertanyaannya borongan. Kupandangi wajahnya, kujawab dalam hati. Aku pernah
cemburu, sering malah. Cemburu padamu, perempuanku. Saat kau tak menyadari
“adanya” aku di dekatmu. Saat kau tak pernah mengerti, bahwa aku yang nyata
untukmu. Bukan dia, yang entah siapa, yang selalu mengalihanmu, membawamu ke
duniamu, dan aku tak pernah dapat mengikutimu. Udaramu entah berwarna apa, aku
tak pernah bisa melihatnya.
Bagaimana rasanya cemburu? Rasanya tidak enak, aku merasa diabaikan olehmu, perempuanku. Saat kita hanya melewatkankan waktu berdua, aku merasa ada orang lain, dan aku hanya menjadi bayang-bayang. Jawabanku tenggelam di riuh hujan senja kala itu. Kamu, kembali tenggelam di ujung jendela, memandang keluar, seolah aku tak ada. Aku, tersenyum dalam diam.
Bagaimana rasanya cemburu? Rasanya tidak enak, aku merasa diabaikan olehmu, perempuanku. Saat kita hanya melewatkankan waktu berdua, aku merasa ada orang lain, dan aku hanya menjadi bayang-bayang. Jawabanku tenggelam di riuh hujan senja kala itu. Kamu, kembali tenggelam di ujung jendela, memandang keluar, seolah aku tak ada. Aku, tersenyum dalam diam.
v
Mungkin jika ada orang lain dalam kamar ini, Ia akan
melempariku dengan benda apa saja, hanya agar aku berhenti mondar-mandir.
Duduk, lalu berdiri. Kamu menghilang.
Tak berkabar sedari kemarin. Awalnya aku tak terlalu khawatir, kamu
biasa begitu, tapi tak pernah lebih dari lima jam, kamu akan memberiku kabar.
Ini tak biasa.
Lewat pukul sepuluh malam dan telepon genggammu masih belum
bisa dihubungi. Hujan makin deras di luar, udara semakin menggigit, dingin
sekali. Aku tak ingin membayangkan hal-hal buruk. Perempuanku baik-baik saja,
mungkin ia sedang ingin menyendiri.
Aku memicingkan mataku, berusaha beradaptasi dengan sinar
lampu. Ah, rupanya aku masih di kamar, tertidur. Pukul tiga dini hari. Ada
pesan masuk. Segera aku menegakkan badan, jantungku berdebar.
“Aku sakit, aku sakit, Tuan Bumi..., aku ingin berjumpa dengannya, aku rindu.. , “
Aku meluncur cepat menemuinya. Jalanan basah setelah hujan menyapa dalam derasnya. Meninggalkan genangan di sana-sini. Perempuanku, bertahanlah. Jangan kalah.
Aku tak pernah mendengar luncuran cerita dari mulutmu, tapi
aku tahu, mata kunang-kunangmu terkadang berhenti bersinar. Entah untuk sebab
apa. Aku hanya ingin kau memberitahuku di waktu yang tepat, aku tak ingin
memaksamu bercerita.
Perempuanku meringkuk di dalam selimut. Matanya sembab, hidungnya
kemerahan. Segelas cokelat panas kuberikan padanya. Ia menggeleng. Isaknya
tiba-tiba terdengar. Aku memeluknya, erat. Kubiarkan perempuanku terlelap,
kugenggam tangannya erat.
Jika aku mampu, aku mau menghapus kesedihannya, menghapus jejak kenangan yang tak indah dalam hidupnya. Hanya jika aku mampu. Perempuan yang pernah aku beri label “selalu bahagia” ini sebenarnya rindu akan kebahagiaannya.
“Aku sakit Tuan
Bumi..., tak usah pedulikan aku...” .
Aku bermalam di rumahnya, tak tega kutinggalkan perempuanku yang sedang sakit. Sakit akan kenangannya.
Aku bermalam di rumahnya, tak tega kutinggalkan perempuanku yang sedang sakit. Sakit akan kenangannya.
v
Hujan semalam adalah berarti kenangan yang menyergap sejuta
kesakitan bagi perempuanku. Hujan adalah serupa kehilangan baginya. Tak pernah
lagi perempuanku mencintai hujan.
“ Aku kehilangan,
dan tak mampu mencintai lagi, aku tak pantas dicintai.. , aku tak mampu
meninggalkan kenanganku.., aku merindukannya, aku merindukannya yang selalu
mengajakku melihat kunang-kunang “ .
“ Jangan menangis
terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi.
Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu* mungkin dia sedang menunggumu,
membawakanmu kunang-kunang..” , aku
berceracau menghiburnya. Hatiku sesungguhnya menangis.
Perempuanku kecewa. Ia yang dirindukannya tak pernah datang
lagi. Perempuanku menyediakan “rumah”, namun penghuninya tak pulang tepat
waktu. Entah kapan akan mengunjunginya lagi.
Aku tahu, tak akan pernah bisa memenangkan hatinya. Peempuanku hidup bersama kenangannya. Kenangan yang tak ada aku di dalamnya. Tak akan pernah ada. Oleh karenanya, aku pergi.
“ Cintamu tak akan pernah mampu membuatkanku kenangan baru, Tuan Bumi. Aku memilih tinggal selamanya di sini, di kenanganku. Doakan saja, semoga aku mampu hidup kembali.. “. Kata-katanya di pertemuan terakhir kami, sebelum aku pergi.
Aku tahu, tak akan pernah bisa memenangkan hatinya. Peempuanku hidup bersama kenangannya. Kenangan yang tak ada aku di dalamnya. Tak akan pernah ada. Oleh karenanya, aku pergi.
“ Cintamu tak akan pernah mampu membuatkanku kenangan baru, Tuan Bumi. Aku memilih tinggal selamanya di sini, di kenanganku. Doakan saja, semoga aku mampu hidup kembali.. “. Kata-katanya di pertemuan terakhir kami, sebelum aku pergi.
v
Dear, perempuanku...
Setiap orang mempunyai kenangan. Setiap orang mempunyai
bagian dalam hidupnya yang ingin dia simpan rapat-rapat, hanya untuk diingat,
atau belum bisa dilupakan, atau justru ingin dibuang atau bahkan dilupakan. Aku
menghargai pilihanmu untuk tetap tinggal. Jangan Kau tanya sesakit apa rasanya,
melihatmu tenggelam dan berjalan sendirian. Aku sakit.
Berdamailah dengan kenangan, wahai perempuanku. Biar saja
kenanganmu itu hilang bersama hampa udara. Jangan meredup, aku ingin melihatmu
bersinar seperti kunang-kunang.
v
Aku sudah tiba, namun entah mengapa aku ingin pulang, menemuimu. Mencoba kembali, membawamu pergi dari kenanganmu.
*#Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.
*
Gadis Kue Lapis
“ Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan *, Ayah akan menemuimu, Nak, membawa kunang-kunang berwarna-warni di dalam kotak kaca, Ayah janji...”
Suara lelaki berwajah matahari itu terlihat teduh, wangi tubuhnya
segar seperti baru mandi. Aku menghambur ke pelukannya, menenggelamkan seluruh
keluh dan keresahan yang selama ini menumpuk, mengeluarkan genangan air mata
yang tertahan lama.
Lambat laun semua menjadi hamburan cahaya yang berpendar ke segala
arah. Lamat-lamat kudengar suara perempuan bermata surga memanggilku.
“ Wit..., Wiwit..., bangun, Nak..., kamu kok tidur sore-sore, pamali kata orang tua mah.. “ , suara Ibuku.
“ Wit..., Wiwit..., bangun, Nak..., kamu kok tidur sore-sore, pamali kata orang tua mah.. “ , suara Ibuku.
Aku mengucek-ngucek mataku, mencoba beradaptasi dengan dunia
nyata, selepas kembali dari alam mimpi, rasanya masih ambigu, yang tadi itu
seperti nyata rasanya.
“ Kamu
kalau dibangunkan susahnya minta ampun, Nak.., mandi sana, biar segar... “, suara Ibu lagi.
Kutarik tangan Ibu dan memeluknya erat. Terserah Ibu mau mau
bingung atau mengomel, beliau sudah sangat mengerti segala polah putri kecilnya
yang aneh ini.
Ibu balas memelukku. Kami menambahkan imbuhan ber- dan –an pada kata peluk. Seketika hangat dan nyaman
menjalari seluruh tubuhku hingga dapat kurasakan pipiku menghangat.
“ Kenapa
menangis, Wit..? Ada Ibu di sini.., kita akan selalu baik-baik saja..”.
“ Bu, Wiwit bertemu dengan Ayah, Bu... , Ayah datang tadi..., Ayah mau menemui Wiwit katanya.. “ . Aku tersedu di pelukan Ibu.
Ibu hanya diam, erat pelukannya saja yang beliau berikan. Bukan
jawaban berupa kata-kata. Aku tahu, mimpiku ini bukan yang pertama kali. Mimpi
yang sama dan adegan yang sama. Terjadi berulang-ulang seperti adegan film yang diputar di bioskop. Kata-kata
yang sama, wajah matahari yang sama, pelukan yang sama, dan air mata yang sama.
Ibu merenggangkan pelukannya. Aku pun. Ibu menatapku lama, masih
tanpa kata-kata. Aku rasakan embun di matanya. Jangan, jangan lagi membuatku
merasa bersalah, aku tak ingin melihat mata indah itu gerimis.
“ Ibu..,
maafkan Wit ya.., bukan maksud membuat Ibu sedih lagi.., Wit yakin Ayah pasti
akan kembali suatu hari nanti.., Wit Yakin...”, ucapku.
Ibu hanya tersenyum tipis dan menggenggam tanganku erat. Ah, genangan itu akan turun sebentar lagi. Kubelai pipi Ibuku yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir setengah abad.
Ibu hanya tersenyum tipis dan menggenggam tanganku erat. Ah, genangan itu akan turun sebentar lagi. Kubelai pipi Ibuku yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir setengah abad.
v
Langit menyapa dengan birunya sore itu, tapi rumah kami muram. Kehangatannya berkurang sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika aku naik kelas tiga SD. Aku anak tunggal yang lahir berselang belasan tahun setelah pernikahan Ayah dan Ibu. Iya, mereka cukup lama menantikan kehadiranku. Aku adalah anak yang istimewa, kata mereka.
Aku sangat menyukai rumahku. Tak besar tapi cukup untuk kami
bertiga. Rumahku bertingkat dua, dengan halaman yang luas di depan, di belakang
dan di tengah rumah. Ini yang istimewa dari rumahku. Ayah dan Ibu adalah
pecinta lingkungan. Kata mereka, rumah impian adalah rumah yang banyak halaman
serta pepohonan di dalamnya. Langit-langit rumahku tinggi dengan banyak sekali
jendela, sehingga udara leluasa masuk.
Ditambah, kami tinggal di pinggiran kota Bandung yang masih segar.
Ibu sering menyebut rumah kami, istana dengan seribu jendela di kaki bukit.
Kamarku biasa saja, namun yang tak biasa adalah hadiah dari Ayah
waktu aku menjadi juara lomba menulis di sekolah. Saat itu aku masih kelas dua
SD. Seminggu kemudian, saat aku pulang sekolah, Ayah sudah menungguku di ruang
tamu. Tak biasanya.
“ Ayaaah..., kok ngga bilang-bilang sih pulang dari Aceh? “, aku berseru. Ayahku bertugas di Aceh, seorang peneliti.
“ Ayaaah..., kok ngga bilang-bilang sih pulang dari Aceh? “, aku berseru. Ayahku bertugas di Aceh, seorang peneliti.
“ Surprise, kan mau kasih hadiah untuk anak Ayah yang manis ini...”. Jawab Ayah.
Lalu Ayah menggendongku berkeliling rumah. Setelah aku diturunkan
dari gendongannya, aku mengekor Ayah, menuju halaman belakang rumah. Dari
kejauhan, aku melihat Ibu melambai-lambaikan tangannya.
Apa yang kulihat sungguh membuatku berdecak bahagia.
“Hah! Ayaaaaaah.............., ini keren banget, Yah!”, seruku sambil meloncat-loncat kegirangan.
Di hadapanku, menjulang sebentuk bangunan terbuat dari kayu yang kokoh. Ditopang batang pohon yang sangat besar. Di badan pohon itu puluhan anak tangga melangit ke atas. Rumah pohon impianku.
Aku mencium dan memeluk kedua orang tuaku. Lalu dengan tak sabar kunaiki anak-anak tangga di depanku, mengunjungi rumah pohon hadiah dari Ayah untuk yang pertama kalinya.
“Hah! Ayaaaaaah.............., ini keren banget, Yah!”, seruku sambil meloncat-loncat kegirangan.
Di hadapanku, menjulang sebentuk bangunan terbuat dari kayu yang kokoh. Ditopang batang pohon yang sangat besar. Di badan pohon itu puluhan anak tangga melangit ke atas. Rumah pohon impianku.
Aku mencium dan memeluk kedua orang tuaku. Lalu dengan tak sabar kunaiki anak-anak tangga di depanku, mengunjungi rumah pohon hadiah dari Ayah untuk yang pertama kalinya.
Ayah dan Ibu saling melingkarkan lengan, keduanya tersenyum
bahagia melihatku. Wajah matahari Ayah makin berseri, mata surga Ibu pun makin
bercahaya. Aku bahagia. Kuajak mereka naik ke atas, mereka harus menjadi
pengunjung rumah pohonku yang pertama, sebab besok teman-temanku pasti akan
kuundang ke sini.
Sore itu kami tutup dengan makan bersama di rumah pohon. Malamnya
kami tidur di ruang tengah saking kelelahan. Malam itu, malam minggu. Jadwal
kami berkumpul rutin. Kami namai, kencan keluarga.
Kencan keluarga yang terakhir bersama Ayah. Tak ada lagi kencan
keluarga sesudahnya. Semua terjadi begitu cepat, tanpa aku siap untuk
menghadapainya. Begitu pun Ibu.
v
Pagi adalah saat-saat udara menciumi embun satu-satu. Melempar
senyumnya pada mentari yang masih malu-malu. Menyapa jendela-jendela di setiap
rumah, lalu membisiki penghuninya untuk beranjak dari peraduan.
Aku adalah penyuka pagi, namun tidak pagi itu. Penghujung Desember, saat dingin menelusup dengan leluasa ke dalam rumah. Pagiku berubah duka ketika Ibu yang biasanya membangunkanku dengan senyuman, pagi itu membangunkanku dengan sedu sedan. Ibu tak mampu bicara, hanya menangis dan menyebut-nyebut nama Ayah. Mata surganya tak bercahaya.
Aceh berduka, dunia pun sama. Tsunami yang datang pagi hari itu membawa Ayahku entah kemana. Sulit kugambarkan tentang ini. Ayah yang tengah bertugas di sana, rencananya seminggu lagi baru akan pulang ke rumah, hilang. Tak ditemukan keberadaannya. Tempat tugasnya, Meulaboh, adalah salah satu daerah terparah yang terkena tsunami. Ayah belum kembali lagi, hingga kini.
Aku adalah penyuka pagi, namun tidak pagi itu. Penghujung Desember, saat dingin menelusup dengan leluasa ke dalam rumah. Pagiku berubah duka ketika Ibu yang biasanya membangunkanku dengan senyuman, pagi itu membangunkanku dengan sedu sedan. Ibu tak mampu bicara, hanya menangis dan menyebut-nyebut nama Ayah. Mata surganya tak bercahaya.
Aceh berduka, dunia pun sama. Tsunami yang datang pagi hari itu membawa Ayahku entah kemana. Sulit kugambarkan tentang ini. Ayah yang tengah bertugas di sana, rencananya seminggu lagi baru akan pulang ke rumah, hilang. Tak ditemukan keberadaannya. Tempat tugasnya, Meulaboh, adalah salah satu daerah terparah yang terkena tsunami. Ayah belum kembali lagi, hingga kini.
v
Desember ke dua sejak kepergian Ayah. Ayahku belum pulang saja,
tapi aku yakin beliau akan kembali, memeluk aku dan Ibu. Merencanakan kencan
keluarga kami yang lebih seru. Kupandangi rumah pohonku yang tak berubah sejak
Ayah pergi, kurawat setiap incinya, kujaga keberadaannya.
Kurapikan kembali kue-kue lapis buatan Ibu ke dalam kotak plastik berukuran sedang. Kue-kue lapis penyambung rezeki keluargaku, sejak Ayah pergi dan belum kembali. Ibuku adalah Ibu bermata surga yang darinya aku belajar banyak tentang kesabaran, ketekunan dan pantang menyerah.
Sejak duka Desember mendatangi kami, Ibu membuka usaha membuat kue
dan aku membantu menjualnya juga di sekolah. Satu tahun terakhir ini usaha Ibu
meningkat, Ibu pun menerima pesanan katering dalam jumlah yang lumayan. Rumahku
pun ramai oleh pegawai-pegawai Ibu. Tuhan tak pernah meninggalkan kami.
v
“ Bu, apakah Ayah menyukai kunang-kunang? Kenapa ya Ayah selalu bilang kalau aku menangis, maka aku tak bisa melihat kunang-kunang lagi, Bu? “, tanyaku sore ini, menemani Ibu minum teh.
Ibu menghela nafas, lalu tersenyum lembut padaku.
“Wit, kunang-kunang adalah binatang yang hebat, ia mengeluarkan cahayanya sendiri. Begitu pun Ayahmu, beliau hebat dengan segala cinta dan pengorbanannya untuk kita. Kamu masih yakin Ayahmu akan pulang, Wit? “
“Wit yakin, Bu.. , Ayah akan kembali ke rumah ini.. “ , mataku beraca-kaca.
“ Ayah akan pulang, selama cahaya harapan dan doa kita tak putus untuknya, Wit.., Berdoalah terus, harapanmu menguatkan Ibu, Nak.. “ .
“Wit, kunang-kunang adalah binatang yang hebat, ia mengeluarkan cahayanya sendiri. Begitu pun Ayahmu, beliau hebat dengan segala cinta dan pengorbanannya untuk kita. Kamu masih yakin Ayahmu akan pulang, Wit? “
“Wit yakin, Bu.. , Ayah akan kembali ke rumah ini.. “ , mataku beraca-kaca.
“ Ayah akan pulang, selama cahaya harapan dan doa kita tak putus untuknya, Wit.., Berdoalah terus, harapanmu menguatkan Ibu, Nak.. “ .
v
Cinta adalah cahaya. Cahaya menuntun kita ketika gelap dan hilang
arah. Selayak doa dan harapan yang tak putus, seperti itulah benderangnya. Yang
hilang, sebenarnya tak hilang. Mungkin Ayah sedang bepergian.
Ayah, segera pulang ya. Gadis kue lapis dan perempuan bermata
surga selalu menunggumu, wahai lelaki berwajah matahari.
: * #Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.
: * #Febversary project, meneruskan kalimat untuk dijadikan cerpen di giveaway #Febversary @indtari.
Langganan:
Postingan (Atom)